Thursday, April 16, 2015

Makalah "Perbuatan Tuhan Prespektif Mu'tazilah,Asy'ariyah, dan Maturidiyah"



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang.
Persoalan kalam lain yang menjadi bahan perdebatan diantara aliran-aliran adalah masalah perbuatan tuhan. Masalah ini muncul sebagai bentuk dari perdebatan ulama kalam mengenai iman. Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih dianggap beriman dan siapa yang kafir diantara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertayaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan tuhan, apakah allah sendiri? Atau manusia sendiri ? atau kerja sama antara keduanya. Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalam fatalis ( predestination ) yang diwakili oleh Mu’tazilah, sedangkan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah mengambil sikap pertengahan. Persolan ini meluas lagi dengan mempermasalahkan apakah tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak ? apakah perbuatan tuhan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, ataukah perbuatan tuhan ini terbatas pada yang baik-baik saja, tetapi juga mencakup hal yang buruk ?.

B.            Rumusan Masalah.
A.    Perbuatan Tuhan
1.      Aliran Mu’tazilah
2.      Aliran Asy’ariyah
3.      Aliran Maturidiya


C.            Tujuan Masalah.
Untuk mengetahui ,pendapat-pendapat mengenai perbuatan tuhan oleh sekelompok golongan dimana yaitu dari golongan Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.



BAB II
PEMBAHASAN
A.           Perbuatan Tuhan.
Semua aliran dalam suatu pemikiran kalam berpendapat bahwasannya tuhan sebagai pencipta, melaksanakan kehendaknya, Tuhan pasti melakukan berbagai perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat[1] yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Diantara perbuatan tuhan menurut aliran Mu’tazilah. Asy’ariyah dan Maturidiyah sebagai berikut :
1.        Aliran Mu’tazilah.
Aliran Mu’tazilah , merupakan aliran kalam yang bercorak rasional.  Aliran Mu’tazilah ini berpendapat bahwa perbuatan tuhan yaitu :
a.       Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia.
Sebagai dilihat dalam uraian tentang kekuasaan mutlak tuhan dan keadilan tuhan, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban. Yaitu kewajiban berbuat baik. Namun, tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu[2]. Didalam al-Qur’an telah jelas dikatakan bahwa tuhan tidaklah berbuat zalim.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh aliran Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya adalah Surat Al-Anbiya[3] 21:23 yang berbunyi :

لاَ يُسْأ لُ عَماَ يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْا لُوْنَ

Artinya : “ Dia ,tidak ditanya tentang apa yang diperbuat, dan merekalah yang akan
               ditanya “

dan Surat Ar-Rum[4] 30:8 yang berbunyi :

مَا خَلَقَ السَّموتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا اِ لاَّ بِا لْحَقِّ

Artinya : “ Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara                   keduanya, melainkan dengan tujuan yang benar “
Seorang tokoh yang bernama , Qadi Abd Al-Jabar[5] berpendapat bahwa ayat yang diatas memberi petunjuk bahwa tuhan hanya berbuat baik. Dengan demikian, tuhan tidak perlu ditanya. Maksudnya yaitu : ketika seseorang yang dikenal baik[6], dan secara nyata berbuat baik, maka tidak perlu ditanya mengapa berbuat baik ?. Sedangkan, ayat yang kedua menurut Al-Jabar , bahwasannya mengandung petunjuk bahwa tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Andaikata tuhan melakukan perbuatan buruk, maka pernyataan bahwa tuhan menciptakann langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau berita bohong.
Dalam faham ini, termasuklah juga kewajiban-kewajiban seperti kewajiban tuhan dalam menepati janji-janjinya[7], kewajiban tuhan mengirim rasul-rasul untuk memberi petunjuk kepada manusia, dan kewajiban tuhan memberi rezeki kepada manusia dan sebaginya.
Faham-faham bahwa tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban ini timbul sebagai akibat dari konsep kaum Mu’tazilah tentang keadilan tuhan dan berjalan sejajar dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan.

b.      Berbuat Baik dan Terbaik.
Adanya konsep tentang keadilan tuhan, mendorong kelompok mu’tazilah untuk berpendapat bahwa tuhan mempunyai kewajiban berbuat baik dan terbaik terhadap manusia.
Dalam istilah arabnya berbuat baik dan terbaik bagi manusia disebut ( Al- salah wa al-aslah )[8]. Maksudnya yaitu kewajiban tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia. Hal ini memang merupakan salah satu kenyakinan yang penting bagi kaum Mu’tazilah.

c.       Beban di Luar Kemampuan Manusia.
Memberi beban di luar kemampuan manusia ( Taklif ma la yutaq ) adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Oleh karena itu kaum Mu’tazilah tidak dapat menerima faham bahwa tuhan dapat memberi kepada manusia beban yang tak dapat dipikul. Hal ini juga bertentang dengan faham mereka tentang keadilan tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil, kalau ia memberikan beban yang terlalu berat kepada manusia.
d.      Pengiriman Rasul-rasul.
Bagi aliran Mu’tazilah , dengan kepercayaan mereka bahwasannya akal dapat mengetahui hal-hal gaib, sehingga menurutnya pengiriman rasul-rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman rasul-rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban tuhan.
Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahi setiap apa yang harus diketahui manusia tentang tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu , tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul, tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik didunia dan di akhirat nanti.

e.       Janji dan Ancaman.
Dalam pebuatan-perbuatan tuhan termasuk perbuatan menepati janji dan menjalankan ancaman ( Al-wa’d wa al-waid )[9] .Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah, hal ini erat hubungannya dengan dasar kedua , yaitu keadilan. Tuhan tidak akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik, dan menjalankan ancaman terhadap orang yang berbuat jahat.
Menurut Abd Al-Jabar, hal ini akan membuat tuhan mempunyai sifat berdusta. Selanjudnya keadaan menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi tuhan.


2.             Aliran Asy’ariyah.

a.       Kewajiban-Kewajiban Tuhan Terhadap Manusia.
Menurur aliran Asy’ariyah,[10] faham kewajiban tuhan yang dikatakan oleh aliran Mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan yang mereka anut. Faham mereka bahwa tuhan dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap makhluk mengandung arti bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa.
Sebagaimana dikatakan Al-Gazali, perbuatan-perbuatan tuhan bersifat tidak wajib ( ja’iz ) dan tidak satupun darinya yang mempunyai sifat wajib.

b.      Berbuat Baik dan Terbaik.
Hal ini ditegaskan oleh Al-Gazali[11],ketika mengatakan bahwa tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian, aliran Asy’ariyah tidak menerima faham tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap makhluknya.

c.       Beban di Luar Kemampuan Manusia.
Aliran Asy’ariyah, karena percanya pada kekuasaan mutlak tuhan dan berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Aliran Asy’ariyah menerima faham pemberian beban di luar kemampuan manusia. Asy’ariyah sendiri dengan tegas mengatakan dalam al-Luma’[12], bahwa tuhan dapat meletakkan pada manusia beban yang tidak dapat dipikul. Al-Gazali mengatakan demikian juga dalam al-Iqtisad.
Menurut faham Asy’ariyah, perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan tuhan dan diwujudkan dengan daya tuhan dan bukan daya manusia. Ditinjau dari sudut faham ini,  pemberian beban yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan terhadap aliran Asy’ariyah. Dengan demikian, manusia dapat melaksanakan beban yang tidak dapat dipikul , karena yang mengujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya tuhan yang tidak terbatas.

d.      Pengiriman Rasul-rasul.
Walaupun pengiriman rasul memiliki arti penting dalam teologi. Namun Aliran Asy’ariyah menolak sebagai kewajiban tuhan. Karena hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Faham ini dapat membawa akibat yang tidak baik. Sekiranya tuhan tidak mengutus rasul kepada umat manusia, hidup manusia akan mengalami kekacauan.
Tanpa wahyu manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik dan perbuatan buruk, manusia akan berbuat apa saja yang dikehendakinya. Namun, sesuai dengan faham Asy’ariyah tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, hal ini tidak menjadi permasalahan bagi teologi mereka. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendakinya. Kalau tuhan menghendaki manusia hidup dalam masyarakat kacau. Tuhan dalam faham aliran ini tidak berbuat kepentingan manusia.


e.       Janji dan Ancaman.
Bagi kaum Asy’ariyah faham ini tidak dapat berjalan sejajar dengan kenyakinan mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, dan tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi tuhan. Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang tersebut dalam al-Qur’an dan Hadits.
Tetapi disini timbul persoalan bagi kaum Asy’ariyah[13], karena dalam al-Qur’an dengan tegas dikatakan bahwa siapa yang berbuat baik akan masuk surga dan siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka.
Untuk mengatasi hal ini,  kata-kata arab man, allazina dan sebagainya yang menggambarkan arti siapa, oleh Asy’ariyah sendiri diberi interpretasi “buka semua orang, tetapi sebagian “.dengan demikian kata “ siapa” dalam ayat “ Barang siapa menelan harta anak yatim piatu dengan cara tidak adil, maka ia sebenarnya menelan api masuk kedalam perutnya”. Mengandung arti bukan seluruh tetapi sebagian orang yang menelan harta yatim piatu. Yang sebagian akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Dengan interpretasi demikianlah Asy’ariyah mengatasi persoalan wajibnya tuhan menepati janji dan menjalankan ancaman.

3.             Aliran Maturidiyah.
Dalam sejarah pertumbuhan aliran-aliran kalam, dikenal dua subsekte aliran Maturidiyah, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Subsekte yang pertama tumbuh di Samarkand dengan pendirinya Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi[14]. Adapun subsekte yang kedua lahir Bukhara dengan pendirinya adalah Abu Yasr Muhammad Al-Basdawi.[15]

a.       Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia.
Dalam pandangan kewajiban-kewajiban tuhan , menurut Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara ada perbedaan pendapat yaitu :
Menurut Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, berpendapat bahwa perbutan tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian , tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban tuhan, dan kewajiban menepati janji dan pemberian ancaman.
Sedangkan menurut, Maturidiyah Bukhara dimana memiliki pandangan yang sama dengna Asy’ariyah mengenai faham bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban . namun, sebagaimana dijelaskan oleh Badzawi, tuhan pasti menepati janjinya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik. Walaupun mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.

b.      Berbuat Baik dan Terbaik.
Kaum Maturidiyah dengan kedua golongannya [16], tidak sefaham dengan kaum Mu’tazilah. Diamana kaum Mu’tazilah berpendapat bahwasannya tuhan mempunyai kewajiban berbuat baik dan terbaik terhadap manusia.

c.       Beban di Luar Kemampuan Manusia.
Mengenai memberikan beban diluar kemampuan batas kemampuannya ( Taklif ma la yutaq ), aliran Maturidiyah Bukhara menerimanya. Tuhan, kata Al-Bazdawi, tidaklah mustahil meletakkan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia.
Sedangkan golongan Maturidiyah Samarkand, mengambil posisi yang dekat dengan aliran Mu’tazilah. Menurut Syarh al-Fiqh al Akbar, al-Maturidi Samarkand tidak setuju dengan pendapat kaum Asy’ariyah dalam hal ini, karena al-Qur’an mengatakan bahwa tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tidak terpikul. Pemberian beban yang tidak terpikul memang tidak dapat sejalan dengan faham golongan Samarkand bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan bukan tuhan.

d.      Pengiriman Rasul-rasul.
Adapun mengenai pengiriman rasul, aliran Maturidiyah golongan Bukhara , sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan , mempunyai faham yang sama dengan aliran Asy’ariyah. Pengiriman rasul menurut mereka , tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin.
Sedangkan menurut Aliran Maturidiyah Samarkand,[17] tentang persoalan pengiriman rasul, dapat diketahui dari keterangan al-Bayadi . dalam Isyarat al-Maram, al-Bayadi menjelaskan bahwa banyak dari kaum Maturidiyah Samarkand dengan kaum Mu’tazilah , mengenai wajibnya pengiriman rasul-rasul.

e.       Janji dan Ancaman.
Kaum Maturidiyah Bukhara dalam hal ini tidak seluruhnya sefaham dengan kaum Asy’ariyah. Dalam pendapat mereka, sebagai dijelaskan oleh al-Bazdawi, tidak mungkin tuhan melanggar janjinya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya bukan tidak mungkintuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Oleh karena itu nasib orang yang berdosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak tuhan. Jika tuhan berkehendak untuk memberi ampun kepada orang yang berdosa, tuhan akan memasukkannya bukan kedalam neraka, tetapi kedalam surga, dan jika ia berkehendak untuk memberi hukuman kepadanya tuhan akan memasukkannya kedalam neraka buat sementara atau buat selama-lamanya. Bukan tidak mungkin bahwa tuhan memberi ampun kepada seseorang tetapi dalam hal itu, tidak memberi ampun kepada orang lain sungguhpun dosanya sama.
Uraian al-Bazdawi di atas mengandung arti bahwa tuhan wajib menepati janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik. Dengan demikian , tuhan, dalam faham al-Bazdawi mempunyai kewajiban terhadap manusia. Pendapat ini berlawanan dengan pendapatnya yang dijelaskan sebelumnya, bahwa tuhan sekali-kali tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Dari sini dapat diketahui bahwa menurut paham al-Bazdawi kekuasaan dan kehendak tuhanboleh saja melanggar janji-janjinya.
Bagi Maturidiyah golongan Bukhara[18] , tuhan tidak mungkin melanggar janji untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik.
Kontradiksi yang terdapat dalam pendapat al-Bazdawi ini mungkin timbul dari keinginannya untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, tetapi dalam hal itu ingin pula mempertahankan keadilan tuhan. Mengatakan bahwa tuhan dapat memasukkan orang yang berbuat baik kedalam neraka, adalah bertentangan sekali dengan rasa keadilan, tetapi mengatakan bahwa tuhan dapat memasukkan orang yang berbuat jahat kedalam surga , tidaklah bertentangan dengan rahmat tuhan.
Sedangkan golongan Maturidiyah Samarkand, dalam hal ini pendapat yang sama dengan dengan kaum Mu’tazilah bahwa upah dan hukuman tuhan pasti terjadi kelak.




BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan.

·         Semua aliran ,dalam suatu pemikiran kalam berpendapat bahwasannya tuhan sebagai pencipta, melaksanakan kehendaknya, Tuhan pasti melakukan berbagai perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
·         Menurut Aliran Mu’tazilah , tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban. Yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Namun, tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Kaum Mu’tazilah tidak dapat menerima faham bahwa tuhan dapat memberi kepada manusia beban yang tak dapat dipikul. Dan menurut kaum mu’tazilah bahwasannya tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul, tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik didunia dan di akhirat nanti. Sehingga dengan begitu kaum Mu’tazilah menyakini menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi tuhan.
·         Menurut Aliran Asy’ariyah, tuhan dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap makhluknya artinya bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Aliran ini menerima faham mengenai pemberian beban diluar kemampuan manusia, karena pemberian beban yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan terhadap manusia dapat melaksanakan beban yang tidak dapat dipikul tersebut, sebab yang mengujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya tuhan yang tidak terbatas. Aliran Asy’ariyah menolak mengenai pengiriman rasul karena bertentangan dengan faham yang mereka yakini. Dan Asy’ariyah berpendapat bahwa tuhan wajib menepati janji dan menjalankan ancaman.
·         Aliran Maturidiyah dikenal dua subsekte, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Subsekte yang pertama tumbuh di Samarkand dengan pendirinya Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi. Adapun subsekte yang kedua lahir Bukhara dengan pendirinya adalah Abu Yasr Muhammad Al-Basdawi.
B.            Saran.
Alhamdulillah kami panjatkan sebagai implementasi rasa syukur kami atas selesainya makalah ini. Namun dengan selesainya bukan berarti telah sempurna, Oleh karena itulah saran serta kritik yang bersifat membangun dari saudara selalu kami nantikan.untuk dijadikan suatu pertimbangan dalam setiap langkah sehingga kami terus termotivasi kearah yang lebih baik tentunya dimasa masa yang akan datang.akhirnya kami ucapkan terima kasih sebanyak banyaknya.















DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rosihon. ILMU KALAM. Bandung:CV Pustaka Setia, 2009.
Harun Nasution. Teologi Islam. Jakarta: UI Press, 1986.
Muhammad Ahmad. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung:Setia Pustaka, 1998.
Mushaf Al-Huffaz, Al-qur’an hafalan dan terjemahan.









 


[1] Anwar Rosihon, ILMU KALAM  (Bandung:CV Pustaka Setia, 2009), hlm,153.
[2] Rosihon, ILMU KALAM, hlm,154.
[3] Mushaf Al-Huffaz, Al-qur’an hafalan dan terjemahan.
[4]Al-Huffaz, Al-qur’an hafalan dan terjemahan.
[5] Dalam kitab “Mutasyabih al-Qur’an”, disebutkan nama lengkap al-Jabar ibn Ahmad ibn’Abd al-Jabbar ibn Ahmad ibn al-Khalil ibn’Abd Allah al-Hamzani al-Asadabi, namun lebih dikenal dengan nama Al-Qadi ‘Abd al-Jabbar, tahun kelahirannya hanya diperkirakan antara 320-325 dan wafat dikota Ray pada tahun 415 H.
[6] Anwar Rosihon, ILMU KALAM  (Bandung:CV Pustaka Setia, 2009), hlm,154.
[7] Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta:UI-Press, 1986), hlm,128.
[8] Nasution, Teologi Islam, hlm,129.
[9] Ibid, hlm132.
[10] Anwar Rosihon, ILMU KALAM  (Bandung:CV Pustaka Setia, 2009), hlm,156.
[11] Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung:Setia Pustaka, 1998), hlm, 183.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta:UI-Press, 1986), hlm,129.
[13] Nasution, Teologi Islam, hlm,133.
[14] Muhammad bin Muhammad Abu Mansur Al-Maturidi, ia dilahirkan disebuah kota yang bernama maturid didaerah samarqand, pada tahun 853 M, dan meninggal pada tahun 333 H /944 M.
[15] Abu Yars Muhammad Al Bazdawi yang lahir pada tahun 421 H, dan meninggal pada tahun 493 H.
[16] Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta:UI-Press, 1986), hlm,129.
[17] Anwar Rosihon, ILMU KALAM  (Bandung:CV Pustaka Setia, 2009), hlm,158.
[18] Nasution, Teologi Islam, hlm,134.

No comments:

Post a Comment