BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.
Persoalan kalam lain yang menjadi bahan perdebatan diantara
aliran-aliran adalah masalah perbuatan tuhan. Masalah ini muncul sebagai bentuk
dari perdebatan ulama kalam mengenai iman. Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih
dianggap beriman dan siapa yang kafir diantara pelaku tahkim, para ulama kalam
kemudian mencari jawaban atas pertayaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan
perbuatan tuhan, apakah allah sendiri? Atau manusia sendiri ? atau kerja sama
antara keduanya. Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalam fatalis (
predestination ) yang diwakili oleh Mu’tazilah, sedangkan aliran Asy’ariyah dan
Maturidiyah mengambil sikap pertengahan. Persolan ini meluas lagi dengan
mempermasalahkan apakah tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak
? apakah perbuatan tuhan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja,
ataukah perbuatan tuhan ini terbatas pada yang baik-baik saja, tetapi juga
mencakup hal yang buruk ?.
B.
Rumusan
Masalah.
A.
Perbuatan
Tuhan
1.
Aliran
Mu’tazilah
2.
Aliran
Asy’ariyah
3.
Aliran
Maturidiya
C.
Tujuan
Masalah.
Untuk mengetahui ,pendapat-pendapat mengenai perbuatan tuhan oleh
sekelompok golongan dimana yaitu dari golongan Mu’tazilah, Asy’ariyah dan
Maturidiyah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Perbuatan
Tuhan.
Semua aliran dalam suatu pemikiran kalam berpendapat bahwasannya
tuhan sebagai pencipta, melaksanakan kehendaknya, Tuhan pasti melakukan
berbagai perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari
dzat[1]
yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Diantara perbuatan tuhan menurut
aliran Mu’tazilah. Asy’ariyah dan Maturidiyah sebagai berikut :
1.
Aliran
Mu’tazilah.
Aliran Mu’tazilah , merupakan aliran kalam yang bercorak
rasional. Aliran Mu’tazilah ini
berpendapat bahwa perbuatan tuhan yaitu :
a.
Kewajiban-kewajiban
Tuhan terhadap manusia.
Sebagai dilihat dalam uraian tentang kekuasaan mutlak tuhan dan
keadilan tuhan, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan mempunyai
kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan
dalam satu kewajiban. Yaitu kewajiban berbuat baik. Namun, tidak berarti bahwa
tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan
buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu[2].
Didalam al-Qur’an telah jelas dikatakan bahwa tuhan tidaklah berbuat zalim.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh aliran Mu’tazilah
untuk mendukung pendapatnya adalah Surat Al-Anbiya[3]
21:23 yang berbunyi :
لاَ يُسْأ لُ
عَماَ يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْا لُوْنَ
Artinya : “ Dia ,tidak ditanya tentang apa yang diperbuat, dan
merekalah yang akan
ditanya “
dan Surat Ar-Rum[4]
30:8 yang berbunyi :
مَا خَلَقَ
السَّموتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا اِ لاَّ بِا لْحَقِّ
Artinya : “ Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada
diantara keduanya,
melainkan dengan tujuan yang benar “
Seorang tokoh yang bernama , Qadi Abd Al-Jabar[5]
berpendapat bahwa ayat yang diatas memberi petunjuk bahwa tuhan hanya berbuat
baik. Dengan demikian, tuhan tidak perlu ditanya. Maksudnya yaitu : ketika
seseorang yang dikenal baik[6],
dan secara nyata berbuat baik, maka tidak perlu ditanya mengapa berbuat baik ?.
Sedangkan, ayat yang kedua menurut Al-Jabar , bahwasannya mengandung petunjuk
bahwa tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk.
Andaikata tuhan melakukan perbuatan buruk, maka pernyataan bahwa tuhan
menciptakann langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak
benar atau berita bohong.
Dalam faham ini, termasuklah juga kewajiban-kewajiban seperti
kewajiban tuhan dalam menepati janji-janjinya[7],
kewajiban tuhan mengirim rasul-rasul untuk memberi petunjuk kepada manusia, dan
kewajiban tuhan memberi rezeki kepada manusia dan sebaginya.
Faham-faham bahwa tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban ini timbul
sebagai akibat dari konsep kaum Mu’tazilah tentang keadilan tuhan dan berjalan
sejajar dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak
tuhan.
b.
Berbuat
Baik dan Terbaik.
Adanya konsep tentang keadilan tuhan, mendorong kelompok mu’tazilah
untuk berpendapat bahwa tuhan mempunyai kewajiban berbuat baik dan terbaik
terhadap manusia.
Dalam istilah arabnya berbuat baik dan terbaik bagi manusia disebut
( Al- salah wa al-aslah )[8].
Maksudnya yaitu kewajiban tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia.
Hal ini memang merupakan salah satu kenyakinan yang penting bagi kaum
Mu’tazilah.
c.
Beban
di Luar Kemampuan Manusia.
Memberi beban di luar kemampuan manusia ( Taklif ma la yutaq )
adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Oleh karena itu kaum
Mu’tazilah tidak dapat menerima faham bahwa tuhan dapat memberi kepada manusia
beban yang tak dapat dipikul. Hal ini juga bertentang dengan faham mereka
tentang keadilan tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil, kalau ia memberikan
beban yang terlalu berat kepada manusia.
d.
Pengiriman
Rasul-rasul.
Bagi aliran Mu’tazilah , dengan kepercayaan mereka bahwasannya akal
dapat mengetahui hal-hal gaib, sehingga menurutnya pengiriman rasul-rasul
tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman rasul-rasul kepada
umat manusia menjadi salah satu kewajiban tuhan.
Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahi
setiap apa yang harus diketahui manusia tentang tuhan dan alam gaib. Oleh
karena itu , tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia
dengan cara mengirim rasul, tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup
baik didunia dan di akhirat nanti.
e.
Janji
dan Ancaman.
Dalam pebuatan-perbuatan tuhan termasuk perbuatan menepati janji
dan menjalankan ancaman ( Al-wa’d wa al-waid )[9] .Janji
dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah,
hal ini erat hubungannya dengan dasar kedua , yaitu keadilan. Tuhan tidak akan
bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang
yang berbuat baik, dan menjalankan ancaman terhadap orang yang berbuat jahat.
Menurut Abd Al-Jabar, hal ini akan membuat tuhan mempunyai sifat
berdusta. Selanjudnya keadaan menepati janji dan tidak menjalankan ancaman
bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati
janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi tuhan.
2.
Aliran
Asy’ariyah.
a.
Kewajiban-Kewajiban
Tuhan Terhadap Manusia.
Menurur aliran Asy’ariyah,[10]
faham kewajiban tuhan yang dikatakan oleh aliran Mu’tazilah, tidak dapat
diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan
yang mereka anut. Faham mereka bahwa tuhan dapat berbuat sekehendak hatinya
terhadap makhluk mengandung arti bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa.
Sebagaimana dikatakan Al-Gazali, perbuatan-perbuatan tuhan bersifat
tidak wajib ( ja’iz ) dan tidak satupun darinya yang mempunyai sifat
wajib.
b.
Berbuat
Baik dan Terbaik.
Hal ini ditegaskan oleh Al-Gazali[11],ketika
mengatakan bahwa tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi
manusia. Dengan demikian, aliran Asy’ariyah tidak menerima faham tuhan
mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap
makhluknya.
c.
Beban
di Luar Kemampuan Manusia.
Aliran Asy’ariyah, karena percanya pada kekuasaan mutlak tuhan dan
berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Aliran Asy’ariyah
menerima faham pemberian beban di luar kemampuan manusia. Asy’ariyah sendiri
dengan tegas mengatakan dalam al-Luma’[12],
bahwa tuhan dapat meletakkan pada manusia beban yang tidak dapat dipikul.
Al-Gazali mengatakan demikian juga dalam al-Iqtisad.
Menurut faham Asy’ariyah, perbuatan manusia pada hakikatnya adalah
perbuatan tuhan dan diwujudkan dengan daya tuhan dan bukan daya manusia.
Ditinjau dari sudut faham ini, pemberian
beban yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan terhadap aliran
Asy’ariyah. Dengan demikian, manusia dapat melaksanakan beban yang tidak dapat
dipikul , karena yang mengujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang
terbatas, tetapi daya tuhan yang tidak terbatas.
d.
Pengiriman
Rasul-rasul.
Walaupun pengiriman rasul memiliki arti penting dalam teologi.
Namun Aliran Asy’ariyah menolak sebagai kewajiban tuhan. Karena hal itu
bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban
apa-apa terhadap manusia. Faham ini dapat membawa akibat yang tidak baik.
Sekiranya tuhan tidak mengutus rasul kepada umat manusia, hidup manusia akan
mengalami kekacauan.
Tanpa wahyu manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik dan
perbuatan buruk, manusia akan berbuat apa saja yang dikehendakinya. Namun,
sesuai dengan faham Asy’ariyah tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, hal
ini tidak menjadi permasalahan bagi teologi mereka. Tuhan berbuat apa saja yang
dikehendakinya. Kalau tuhan menghendaki manusia hidup dalam masyarakat kacau.
Tuhan dalam faham aliran ini tidak berbuat kepentingan manusia.
e.
Janji
dan Ancaman.
Bagi kaum Asy’ariyah faham ini tidak dapat berjalan sejajar dengan
kenyakinan mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, dan tentang
tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi tuhan. Tuhan tidak mempunyai kewajiban
menepati janji dan menjalankan ancaman yang tersebut dalam al-Qur’an dan
Hadits.
Tetapi disini timbul persoalan bagi kaum Asy’ariyah[13],
karena dalam al-Qur’an dengan tegas dikatakan bahwa siapa yang berbuat baik
akan masuk surga dan siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka.
Untuk mengatasi hal ini,
kata-kata arab man, allazina dan sebagainya yang menggambarkan arti
siapa, oleh Asy’ariyah sendiri diberi interpretasi “buka semua orang, tetapi
sebagian “.dengan demikian kata “ siapa” dalam ayat “ Barang siapa menelan
harta anak yatim piatu dengan cara tidak adil, maka ia sebenarnya menelan api
masuk kedalam perutnya”. Mengandung arti bukan seluruh tetapi sebagian orang
yang menelan harta yatim piatu. Yang sebagian akan terlepas dari ancaman atas
dasar kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Dengan interpretasi demikianlah
Asy’ariyah mengatasi persoalan wajibnya tuhan menepati janji dan menjalankan
ancaman.
3.
Aliran
Maturidiyah.
Dalam sejarah pertumbuhan aliran-aliran kalam, dikenal dua subsekte
aliran Maturidiyah, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara.
Subsekte yang pertama tumbuh di Samarkand dengan pendirinya Abu Mansur Muhammad
bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi[14].
Adapun subsekte yang kedua lahir Bukhara dengan pendirinya adalah Abu Yasr
Muhammad Al-Basdawi.[15]
a.
Kewajiban-kewajiban
Tuhan terhadap manusia.
Dalam pandangan kewajiban-kewajiban tuhan , menurut Maturidiyah
Samarkand dan Maturidiyah Bukhara ada perbedaan pendapat yaitu :
Menurut Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan batas pada
kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, berpendapat bahwa perbutan tuhan hanyalah
menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian , tuhan mempunyai kewajiban
melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman rasul dipandang Maturidiyah
Samarkand sebagai kewajiban tuhan, dan kewajiban menepati janji dan pemberian
ancaman.
Sedangkan menurut, Maturidiyah Bukhara dimana memiliki pandangan
yang sama dengna Asy’ariyah mengenai faham bahwa tuhan tidak mempunyai
kewajiban . namun, sebagaimana dijelaskan oleh Badzawi, tuhan pasti menepati
janjinya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik. Walaupun mungkin
saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan
Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka
tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya
bersifat mungkin saja.
b.
Berbuat
Baik dan Terbaik.
Kaum Maturidiyah dengan kedua golongannya [16],
tidak sefaham dengan kaum Mu’tazilah. Diamana kaum Mu’tazilah berpendapat
bahwasannya tuhan mempunyai kewajiban berbuat baik dan terbaik terhadap
manusia.
c.
Beban
di Luar Kemampuan Manusia.
Mengenai memberikan beban diluar kemampuan batas kemampuannya ( Taklif
ma la yutaq ), aliran Maturidiyah Bukhara menerimanya. Tuhan, kata
Al-Bazdawi, tidaklah mustahil meletakkan kewajiban-kewajiban yang tak dapat
dipikulnya atas diri manusia.
Sedangkan golongan Maturidiyah Samarkand, mengambil posisi yang
dekat dengan aliran Mu’tazilah. Menurut Syarh al-Fiqh al Akbar, al-Maturidi
Samarkand tidak setuju dengan pendapat kaum Asy’ariyah dalam hal ini, karena
al-Qur’an mengatakan bahwa tuhan tidak membebani manusia dengan
kewajiban-kewajiban yang tidak terpikul. Pemberian beban yang tidak terpikul
memang tidak dapat sejalan dengan faham golongan Samarkand bahwa manusialah
sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan bukan tuhan.
d.
Pengiriman
Rasul-rasul.
Adapun mengenai pengiriman rasul, aliran Maturidiyah golongan
Bukhara , sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak
tuhan , mempunyai faham yang sama dengan aliran Asy’ariyah. Pengiriman rasul
menurut mereka , tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin.
Sedangkan menurut Aliran Maturidiyah Samarkand,[17]
tentang persoalan pengiriman rasul, dapat diketahui dari keterangan al-Bayadi .
dalam Isyarat al-Maram, al-Bayadi menjelaskan bahwa banyak dari kaum
Maturidiyah Samarkand dengan kaum Mu’tazilah , mengenai wajibnya pengiriman
rasul-rasul.
e.
Janji
dan Ancaman.
Kaum Maturidiyah Bukhara dalam hal ini tidak seluruhnya sefaham
dengan kaum Asy’ariyah. Dalam pendapat mereka, sebagai dijelaskan oleh
al-Bazdawi, tidak mungkin tuhan melanggar janjinya untuk memberi upah kepada
orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya bukan tidak mungkintuhan membatalkan
ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Oleh karena itu
nasib orang yang berdosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak tuhan. Jika
tuhan berkehendak untuk memberi ampun kepada orang yang berdosa, tuhan akan
memasukkannya bukan kedalam neraka, tetapi kedalam surga, dan jika ia
berkehendak untuk memberi hukuman kepadanya tuhan akan memasukkannya kedalam
neraka buat sementara atau buat selama-lamanya. Bukan tidak mungkin bahwa tuhan
memberi ampun kepada seseorang tetapi dalam hal itu, tidak memberi ampun kepada
orang lain sungguhpun dosanya sama.
Uraian al-Bazdawi di atas mengandung arti bahwa tuhan wajib
menepati janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik. Dengan demikian ,
tuhan, dalam faham al-Bazdawi mempunyai kewajiban terhadap manusia. Pendapat
ini berlawanan dengan pendapatnya yang dijelaskan sebelumnya, bahwa tuhan
sekali-kali tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Dari sini dapat
diketahui bahwa menurut paham al-Bazdawi kekuasaan dan kehendak tuhanboleh saja
melanggar janji-janjinya.
Bagi Maturidiyah golongan Bukhara[18] ,
tuhan tidak mungkin melanggar janji untuk memberi upah kepada orang yang
berbuat baik.
Kontradiksi yang terdapat dalam pendapat al-Bazdawi ini mungkin
timbul dari keinginannya untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak mutlak
tuhan, tetapi dalam hal itu ingin pula mempertahankan keadilan tuhan.
Mengatakan bahwa tuhan dapat memasukkan orang yang berbuat baik kedalam neraka,
adalah bertentangan sekali dengan rasa keadilan, tetapi mengatakan bahwa tuhan
dapat memasukkan orang yang berbuat jahat kedalam surga , tidaklah bertentangan
dengan rahmat tuhan.
Sedangkan golongan Maturidiyah Samarkand, dalam hal ini pendapat
yang sama dengan dengan kaum Mu’tazilah bahwa upah dan hukuman tuhan pasti
terjadi kelak.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
·
Semua
aliran ,dalam suatu pemikiran kalam berpendapat bahwasannya tuhan sebagai
pencipta, melaksanakan kehendaknya, Tuhan pasti melakukan berbagai perbuatan.
Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki
kemampuan untuk melakukannya.
·
Menurut
Aliran Mu’tazilah , tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia.
Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban. Yaitu kewajiban
berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Namun, tidak berarti bahwa tuhan tidak
mampu melakukan perbuatan buruk. Kaum Mu’tazilah tidak dapat menerima faham
bahwa tuhan dapat memberi kepada manusia beban yang tak dapat dipikul. Dan
menurut kaum mu’tazilah bahwasannya tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan
terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul, tanpa rasul, manusia tidak
akan memperoleh hidup baik didunia dan di akhirat nanti. Sehingga dengan begitu
kaum Mu’tazilah menyakini menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib
bagi tuhan.
·
Menurut
Aliran Asy’ariyah, tuhan dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap makhluknya artinya
bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Aliran ini menerima faham
mengenai pemberian beban diluar kemampuan manusia, karena pemberian beban yang
tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan terhadap manusia dapat
melaksanakan beban yang tidak dapat dipikul tersebut, sebab yang mengujudkan
perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya tuhan yang
tidak terbatas. Aliran Asy’ariyah menolak mengenai pengiriman rasul karena
bertentangan dengan faham yang mereka yakini. Dan Asy’ariyah berpendapat bahwa
tuhan wajib menepati janji dan menjalankan ancaman.
·
Aliran
Maturidiyah dikenal dua subsekte, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah
Bukhara. Subsekte yang pertama tumbuh di Samarkand dengan pendirinya Abu Mansur
Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi. Adapun subsekte yang kedua lahir
Bukhara dengan pendirinya adalah Abu Yasr Muhammad Al-Basdawi.
B.
Saran.
Alhamdulillah kami panjatkan sebagai
implementasi rasa syukur kami atas selesainya makalah ini. Namun dengan
selesainya bukan berarti telah sempurna, Oleh karena itulah saran serta kritik
yang bersifat membangun dari saudara selalu kami nantikan.untuk dijadikan suatu
pertimbangan dalam setiap langkah sehingga kami terus termotivasi kearah yang
lebih baik tentunya dimasa masa yang akan datang.akhirnya kami ucapkan terima
kasih sebanyak banyaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar
Rosihon. ILMU KALAM. Bandung:CV Pustaka Setia, 2009.
Harun
Nasution. Teologi Islam. Jakarta: UI Press, 1986.
Muhammad
Ahmad. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung:Setia Pustaka, 1998.
Mushaf
Al-Huffaz, Al-qur’an hafalan dan terjemahan.
[2] Rosihon, ILMU KALAM, hlm,154.
[3] Mushaf Al-Huffaz, Al-qur’an hafalan dan terjemahan.
[4]Al-Huffaz, Al-qur’an hafalan dan terjemahan.
[5] Dalam kitab “Mutasyabih al-Qur’an”, disebutkan nama lengkap al-Jabar
ibn Ahmad ibn’Abd al-Jabbar ibn Ahmad ibn al-Khalil ibn’Abd Allah al-Hamzani
al-Asadabi, namun lebih dikenal dengan nama Al-Qadi ‘Abd al-Jabbar, tahun
kelahirannya hanya diperkirakan antara 320-325 dan wafat dikota Ray pada tahun
415 H.
[7] Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta:UI-Press, 1986),
hlm,128.
[8] Nasution, Teologi Islam, hlm,129.
[9] Ibid, hlm132.
[11] Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung:Setia Pustaka,
1998), hlm, 183.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta:UI-Press, 1986),
hlm,129.
[13] Nasution, Teologi Islam, hlm,133.
[14] Muhammad bin Muhammad Abu Mansur Al-Maturidi, ia dilahirkan disebuah
kota yang bernama maturid didaerah samarqand, pada tahun 853 M, dan meninggal
pada tahun 333 H /944 M.
[15] Abu Yars Muhammad Al Bazdawi yang lahir pada tahun 421 H, dan
meninggal pada tahun 493 H.
[16] Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta:UI-Press, 1986),
hlm,129.
[18] Nasution, Teologi Islam, hlm,134.
No comments:
Post a Comment