Thursday, April 16, 2015

Makalah " Idiologi Pendidikan Kritis Radikal".



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pendidikan diharapkan memberikan pengetahuan yang memungkinkan orang dapat mengatasi masalah-masalah kehidupan dalam tugas-tugas secara profesional di dalam kehidupan sehari-hari.Namun, dalam kondisi kehidupan yang berubah dengan sangat cepat, kerab kali pengetahuan yang kita miliki tidak dapat kita terapkan untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul. Oleh karena itu, diperlukan keterampilan berpikir kritis, radikal dalam pendidikan.
Sehingga apabila orang mahir dalam berpikir kritis, radikal dapat mengahasilkan solusi masalah secara tepat dari informasi yang terbatas. Sebaliknya, seseorang yang tidak terampil berpikir kritis, radikal tidak dapat menghasilkan pemecahan masalah yang tepat, meskipun tersedia cukup banyak informasi yang relevan.
Untuk itu dalam makalah ini kami akan menjabarkan “Idiologi Pendidikan Kritis Radikal” dimana Idiologi itu sendiri adalah sebuah teori yang akan menerapkan di dalam pendidikan yang kritis radikal.

B.       Rumusan Masalah
1.      Pengertian Berfikir Kritis radikal dalam Pendidikan ?
2.      Pendidikan Kritis Menurut pandangan Paulo Freire ?

C.       Tujuan Masalah.
1.      Untuk mengetahui Pengertian Berfikir Kritis radikal dalam Pendidikan.
2.      Untuk mengetahui Pendidikan Kritis Menurut pandangan Paulo Freire.



BAB II
PEMBAHASAN
1.        Pengertian Berfikir Kritis radikal dalam Pendidikan.

A.    Berpikir Kritis
Suatu hal yang penting untuk ditumbuhkan dalam sebuah pendidikan yang membebaskan adalah membangun anak didik untuk bisa bersikap dan berfikir kritis ini bisa tumbuh dan berkembang setelah anak didik diberi ruang untuk didengarkan, terbangun suasana yang dialogis, bahkan anak didik diperbolehkan untuk berbeda pendapat tidak hanya dengan sesama temannya, namun berbeda pendapat dengan gurunya sekalipun.
Dalam era reformasi ini, menurut Bernhard[1], sikap kritis terhadap ide-ide dari mana pun harus dikuatkan. Pendidikan sebaiknya membangun sikap kritis yang bertanggung jawab, bukan kritis yang dogmatis ideologis.
Pendidikan merupakan wahana membangun kesadaran anak didik agar berani bersikap kritis terhadap lembaga pendidikan[2] itu sendiri. Hal ini penting sebab tak jarang lembaga pendidikan justru digunakan oleh pihak tertentu untuk membelenggu kelompok tertentu demi memperoleh keuntungan. Pihak yang memperalat pendidikan ini bisa jadi yayasan pendidik atau bahkan malah penguasa atau negara. Tujuan pendidikan yang utama adalah menjaga hakikat kemanusiaanya yang merdeka. Apabila pendidikan teryata bertentangan dengan hakikat kemanusiaan, anak didik harus berani berfikir dan bersikap kritis.
Untuk itu ada banyak hal pandangan tentang berpikir kritis, berpikir kritis adalah kemampuan untuk mengatakan sesuatu dengan penuh percaya diri,[3] “ide saya bagus karena berdasarkan alasan yang logis” atau “ide anda bagus karena didukung oleh bukti yang kuat.” Atau berpikir kritis adalah sebuah proses sistematis yang memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi kenyakinan dan pendapat mereka sendiri.
Tujuan dari berpikir kritis adalah[4] untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Pemahaman membuat kita mengerti maksud dibalik ide yang mengarahkan hidup kita setiap hari. Pemahaman mengungkapkan makna dibalik suatu kejadian.
Sayangnya, banyak orang yang kelihatannya curiga pada pemikir kritis. Mungkin pemikir kritis memiliki reputasi yang buruk sebagian karena mereka kritis, yang berarti “tepat” dan “tajam” dalam berpikir, yang secara tersirat berarti terlalu keras. Mungkin berpikir kritis dicurigai sebagian karena orang-orang yang mempraktekannya wajib bertanya.
Kenyataanya, penilaian yang keras dan pertayaan destruktif yang disampaikan hanya untuk mematahkan kenyakinan merupakan hambatan bagi pemikir kritis.
Proses berpikir kritis mengharuskan keterbukaan pemikiran, kerendahan hati, dan kesabaran. Kualitas-kualitas tersebut membantu seseorang mencapai pemahaman yang mendalam. Pemikir kritis, selalu berpikiran terbuka saat mereka mencari kenyakinan yang ditimbang baik-baik berdasarkan bukti logis dan logika yang benar.


Definisi berpikir kritis menurut para ahli[5] :
a.            John Dewey dalam tulisannya , Berpikir kritis adalah berpikir dengan baik, dan merenungkan tentang proses berpikir merupakan bagian dari berpikir dengan baik. Dan John Dewey mengatakan bahwasannya sekolah harus mengajarkan cara berpikir yang benar pada anak-anak (Dewey, 1916 / 1966).
b.            Vincent Ruggiero (1988), mengartikan berpikir sebagai “segala aktifitas mental yang membantu merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi keinginan untuk memahami, sedangkan berpikir adalah sebuah pencaraian jawaban, sebuah pencapaian makna.
c.            John Chaffee (1994), Direktur Pusat Bahasa dan Pemikiran Kritis di Laguardi College, City University of New York (CUNY). Dia mendefinisikan bahwa berpikir kritis sebagai berpikir untuk  “menyelidikisecara sistematis proses berpikir itu sendiri”maksudnya tidak hanya memikirkan dengan sengaja, tetapi juga meneliti bagaimana kita dan orang lain menggunakan bukti dan analogika.
Berpikir Kritis , sebuah proses sistematis[6] yang mana para ahli berpikir kritis setuju bahwa meneliti proses berpikir harus dilakukan dengan sistematis. Satu alasan mengapa kita membutuhkan pendekatan sistematis dan terorganisasi untuk berpikir kritis karena pada dasarnnya berpikir sulit untuk dipahami.
Pelembagaan Berpikir Kritis[7]
Menurut Selman ada lima pendekatan sebagai agenda utama di dalam kerangka pembelajaran berpikir kritis yaitu :
1.      Pendekatan keterampilan yang menekankan pada kemampuan menganalisis, mengklasifikasi, dan mensistensiskan aneka fenomena.
2.      Pendekatan pemecahan masalah, dimana anak didik diharapkan pada hipotesis yang harus mereka pecahkan dengan prosedur kerja secara kritis.
3.      Pendekatan logikal, dimana anak didik diarahkan untuk dapat mengidentifikasi katagori-katagori logis sebagai sebuah premis.
4.      Pendekatan pemrosesan informasi, dimana kepada anak didik ditawarkan ide-ide besar, untuk selanjudnya mereka analisi secara detail.
5.      Pendekatan multiaspek yang menekankan pada pelibatan kemampuan, sikap, kebutuhan, dan tuntutan yang ada pada diri anak didik.
Pelembagaan berpikir kritis memang masih mengundang kontroversi, terutama berkaitan dengan isi, keterampilan, dan strategi yang terpaut dengan proses pembelajaran. Pelembagaan kritis tidak jarang membuat para guru menghadapi kebingungan mengenai apa itu berpikir kritis. Namun, dengan pelembagaan berpikir kritis dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah , adalah untuk terkndisinys kehidupsn siswadalam proses pembelajaran untuk membangun keatifitas , dan bekerja secara kooperatif antar sesama masyarakat pendidik di sekolah.
Pedagogy Kritis
Dalam bidang pendidikan teori kritis ini memunculkan pendekatan critikal pedagogy. Pendekatan ini antara lain menekankan pentingnya memberdayakan dan mendidik siswa agar mampu memecahkan masalah dan mampu berpikir kritis. Seperti berikut ini :
Critical theory in education aims to disclose all forms of injustice and inequality in schooling by revealing the interests served by the knowledge and the human action brought to bear in school settings.By probing into the ideological and political forces that underlie the workday affairs of the school,critical theorists are created new and unconventional ways of looking at school phenomena[8] .
Dari pencermatan atas kutipan di atas, maka dapat ditarik sejumlah tafsir sebagai berikut:
a.       Teori kritis meiliki kepedulian tinggi terhadap ketidak adilan sosial sebagaimana tercermin dalam sistem pendidikan atau persekolahan.
b.      Di balik ilmu pengetahuan yang dipelajari di sekolah dan kebudayaan yang dominan dalam sistem persekolahan sesungguhnya ada minat dan vested interest dari kelompok tertentu.
c.       Di balik sitem persekolahan itu ada idiologi yang mendominasi yang harus dicermati dengan kritis dengan mengkaji sejumlah ideologi alternatif.
Untuk keperluan analisisnya yang radikal ini, maka pemdidik harus memiliki kemampuan antara lain sebagai berikut :
a.       Untuk menganalisis sistem yang ada secara politis, diperlukan penguasaan bahasa kritis demi pemahaman yang sempurna.
b.      Untuk memahami kultur yang mendominasi sistem persekolahan, diperlukan pemahan atas suara ideologis dari tiga kelompok besar, yaitu pihak sekolah, siswa, dan guru.
c.       Untuk menantang wilayah pengetahuan yang dominan saat ini, diperlukan keberanian untuk membangun pengetahuan baru.
Sehingga, bisa jadi aliran ini terlalu radikal terutama pada sistem pendidikan .Karena tanpa berpikir kritis, lebih merupakan latihan ketahanan dari pada pendidikan ( Svincki dan Kraemer dalam Young,)[9]. Peryataan ini mengandung makna bahwa perkembangan keterampilan berpikir kritis merupakan suatu keharusan.

B.     Berpikir Radikal.

Berfilsafat berarti berpikir secara radikal[10]. Filsuf adalah pemikir yang radikal, karena berpikir secara radikal, ia tidak akan pernah terpaku hanya pada fenomena entitas tertentu. Ia tidak akan pernah berhenti hanya pada suatu wujud realitas tertentu. Keradialan berpikirnya itu senantiasa mengorbarkan hasratnya untuk menemukan akar seluruh kenyataan, bila dikatakan filsuf selalu berupaya menemukan radix seluruh kenyataan, berarti dirinya sendiri sebagai suatu realitas telah termasuk kedalamnya sehingga iapun berupaya untuk mencapai akar pengetahuan tentang dirinya sendiri.
Mangapa Radix atau akar realitas begitu penting untuk ditemukan ? ini tidak lain karena bagi seorang filsuf hanya apabila akar realitas itu ditemukanlah segala sesuatu yang bertumbuh di atas akar itu akan dapat dipahami. Apabila akar suatu permasalahan telah ditemukan, permasalahan itu dapat di mengerti sebagai mestinya,
Dalam berpikir radikal kita seakan menjadi budak dari keingintahuan  (anxiety[11]). Sepanjang kita mampu memenuhi hasrat ingin tahu dan menindak lanjudkan apa yang kita ketahui dengan perbuatan  yang baik dan diterima sesuai akal sehat kita.
Jadi awal mula terjadinya keterasingan kita adalah ketidak tahuan kita. Kebodohan adalah musuh umat manusia sepanjang abad.
Untuk itu berpikir radikal tidak berarti hendak mengubah, membuang, atau menjungkir balikkan segala sesuatu, melainkan dalam arti yang sebenarnnya, yaitu berpikir secara mendalam untuk mencapai akar persoalan yang dipermasalahkan. Berpikir radikal justru memperjelas realitas lewat penemuan serta pemahaman akan akar realitas itu sendiri.






2.        Pendidikan Kritis Menurut pandangan Paulo Freire.

Pendidikan kritis hampir-hampir menguasai secara dominan wacana kependidikan di indonesia dewasa ini. Dan para sarjana pendidikan kita hampir semuanya sepakat bahwa yang dimaksud pendidikan kritis itu ialah seluruh gagasan yang pernah dirintis dan dikembangkan oleh Paulo Freire[12]. Siapakah sebenarnya Paulo Feire itu ?.
Paulo Freire lahir pada 19 september 1921 di Recife kota pelabuhan di timur laut Brazil[13], dia berasal dari keluarga kelas menengah, ayahnya bernama Joachim Themistocles Freire berprofesi sebagai polisi militer di Pernambuco yang berasal dari Rio Grande de Norte. Ayahnya adalah seorang pengikut aliran kebatinan, tanpa menjadi anggota dari agama resmi. Baik budi, cakap, dan mampu untuk mencintai.dan ibunya bernama Edultrus Neves Freire, berasal dari Pernambuco, beragama Katolik, lembut, baik budi, dan adil. Merekalah yang dengan contoh dan cinta mengajarkan kepada Paulo Freire untuk menghargai dialog dan menghormati pendapat maupun pilihan orang lain.
Pada tahun 1944, Freire melangsungkan pernikahan dengan Elza Maia Costa Olivera dari Recife, seorang guru sekolah dasar (yang kemudian menjadi kepala sekolah). Dari pernikahannya dengan Elza melahirkan tiga orang putri dan dua orang putra. Pasca pernikahannya itu kemudian naluri dan kepedulian Freire pada pendidikan mulai tumbuh, ia banyak membaca buku-buku tentang pendidikan, filsafat dan sosiologi ketimbang buku-buku hukum yang menjadi sarana penghasilannya.
Paulo Freire merupakan tokoh yang secara khusus membicarakan pendidikan. Paulo Freire memahami dan memberikan kerangka kerja konkret dalam mempermasalahkan modernisme dalam pendidikan. Dalam pandangannya, Paulo Freire berujar “ Pemikiran Kritis adalah pemikiran yang melihat suatu hubungan tak terpisahkan antara manusia dan dunia tanpa melakukan dikotomi antara keduanya. Pemikiran kritis adalah pemikiran yang memandang realitas sebagai proses dan perubahan, bukan entitas yang statis. Pemikiran kritis adalah pemikiran yang tidak memisahkan diri dan tindakan , tetapi senantiasa bergumul dengan masalah-masalah keduniawian tanpa gentar menghadapi resiko.
Pemikiran kritis bukanlah sesuatu yang sulit dan esoteris yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki IQ berkatagori genius[14]. Sebaliknya, berpikir kritis merupakan sesuatu yang dapat dilakukan oleh semua orang. Saat anak-anak menyatakan pertanyaan penting “ Mengapa?” yang mengisyaratkan keengganan mereka untuk menerima penjelasan sederhana, mereka adalah pemikir kritis.
Paulo Freire merupakan tokoh yang anti terhadap segala bentuk imperalisme maupun eksploitasi.karena setiap penindasan, baginya tidak bisa ditolerir begitu saja. Sebab penindasan itu, menurutnya, tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme). Karena itulah, Paulo Freire berpandangan bahwa penyelenggaraan pendidikan itu bertujuan untuk “Memanusiakan Manusia (humanisme)”.
Paolo Freire bukanlah filosof penemu gagasan orisinil, sebab hampir seluruh pandangan-pandangan filosofinya tentang pendidikan masih bermuara pada pandangan-pandangan filosof  terdahulu. Misalnya Paulo Freire mengonstruksi kembali ide-ide humanisme untuk membangun konsep pendidikannya,dimulai dari konsep manusia sebagai subyek aktif (cognitive), padahal pandangan-pandangannnya telah digagas oleh Abraham Maslow, pencetus mazhab priskologi humanis.
Kemudian dalam memahami konsep manusia, Paolo Freire banyak mengadopsi gagasan-gagasan para filosof eksistensialis, semisal Jean Paul Sartre, Gabriel Marcel dan Karl Jasper. Namun dalam memahami realitas sosial yang menjadi medium pendidikan bagi manusia, Paulo Freire lebih banyak mengadopsi pemikiran Karl Marx untuk membaca ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Paulo Freire lebih banyak mengadopsi teori konflik ( teori kelas ) untuk membaca gejala sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat.
Karena, pemikiran Karl Marx cenderung memihak pada kelompok sosial tertindas (proletar), maka Paulo Freirepun cenderung begitu. Malah agenda pendidikan melalui proyek penyadarannya bermuara dari ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam realitas sosial masyarakat Brazil waktu itu.
Paulo Freire mengaris bawahi bahwa dalam pendidikan itu terdapat tiga unsur fundamental yaitu yang pertama[15], pengajar kedua,peserta didik ketiga, realitas dunia. Pola interaksi antara unsur pertama dengan kedua seperti halnya pola hubungan pertemanan (partnership) yang saling melengkapi dalam proses pembelajaran. Keduanya tidak berfungsi secara struktural formal seperti halnya ketika kita memahami konstruksi filosofi pendidikan konservatif. Bahkan, Paulo Freire menengarai bahwa hubungan antara pengajar dan peserta didik yang bersifat struktural formal hanya akan melahirkan konsep “ Pendidikan gaya bank “ (banking concept of education).
Banking concept of education merupakan pola hubungan kontradiksi yang saling menekan. Diandaikan ketika pengajar (guru) menempati posisi di atas, maka peserta didik (murid) harus berada di bawah dengan menerima tekanan-tekananotoritas sang guru. Pendidikan seperti itu hanya akan melahirkan penindasan dan tidak sesuai dengan fitrah manusia. Paulo Freire lebih menghendaki bahwa hubungan antara guru dan murid seperti halnya seorang teman atau partnership. Dengan model hubungan seperti itu memungkinkan proses pendidikan berjalan secara dialogis dan partisipatoris.
Posisi pengajar dan peserta didik oleh Paulo Freire dikatagorikan sebagai subyek yang sadar (cognitive). Artinya kedua posisi ini sama-sama berfungsi sebagai subyek dalam proses pembelajaran. Peran guru hanya mewakili dari orang teman ( parnership ) yang baik bagi muridnya. Adapun posisi realitas dunia menjadi medium atau obyek yang disadari (cognizable). Disinilah manusia itu belajar dari hidupnya. Dengan begitu manusia dalam konsep pendidikan Paulo Freire mendapati posisi sebagai subyek aktif. Manusia kemudian belajar dari realitas sebagai medium pembelajaran.
Paolo Freire menempatkan hubungan antara guru dengan murid sebagai partnership dalam belajar untuk menghindari antagonisme dalam pembelajaran. Seandainya posisi antara guru dengan murid dipandang secara hirarkhis-struktural yang terjadi kemudian adalah proses “pendidikan gaya bank”. Namun ketika proses pembelajaran dengan memposisikan guru dan murid sebagai pratnership, yang terjadi kemudian adalah proses pendidikan yang “memanusiakan manusia”.
Baginya , seluruh persoalan yang terjadi dalam suatu tatanan sosial sangat berkaitan dengan faktor manusianya. Namun tidak sepenuhnya Paolo Freire menyalahkan faktor manusianya ketika melihat ketimpangan dalam sebuah realitas sosial tertentu. Karena, bisa jadi faktor kemiskinan , kebodohan , pengangguran dan sebagainya itu lahir dari kebijakan struktur penguasa. Oleh karena itu , Paulo Freire juga banyak menggunakan pendekatan lain dalam menganalisis persoalan-persoalan sosial yang ada. Dia juga banyak menggunakan pendekatan-pendekatan semisal strukturalisme dan fungsionalisme untuk mencari penyebab atau sumber ketimpangan dalam sebuah realitas sosial berdasarkan faktor kebijakan penguasa dan peran serta fungsi masing-masing unsur dalam sebuah struktur masyarakat.
Pendekatan struturalisme dan fungsionalisme inilah yang kemudian melengkapi cara pandangannya dalam memahami realitas sosial itu bertumpu pada manusianya saja. Akan tetapi, terdapat faktor-faktor lain yang sangat berpengaruh seperti sistem kekuasaan yang otoriter , fungsi pranata sosial yang tidak seimbang dan sebagainya.
Paulo Freire menempatkan posisi realitas sebagai medium pembelajaran bagi manusia . Dari realitas itulah seluruh manusia belajar. Pada dasarnya manusia itu memiliki kebebasan (freedom) dalam memilih dan berbuat, bahkan dalam menentukan nasibnya sendiri. Inilah fitrah manusia yang oleh Paulo Freire disebut sebagai the man’s ontologikal vocation. Karena kebebasan dalam memilih, mengembangkan potensi adalah fitrah manusia , maka tiap-tiap penindasan yang menafikan potensi-potensi manusia oleh Paulo Freire tidak dipandang tidak manusiawi. Oleh karena itu, ia menggagas, bahwa pendidikan itu adalah suatu proses untuk memanusiakan manusia (humanisasi).
Dalam kondisi sosial kaum terpinggirkan (marginal) yang terjadi penindasan dimn penindasan itu adalah ketika otoritas penguasa lebih dominan dan mengeksploitasi manusia tanpa adil sedikitpun. Dengan sikap ketakutan dari kaum marginal (terpinggirkan)itulah yang kemudian semakin menciptakan kesenjangan dalam kehidupan sosial, orang yang terpinggir itu kemudian semakin lemah, tidak berdaya atau semakin larut dalam “budaya bisu” (submerged in the culture of silence) adalah suatu situasi dimana orang yang tidak berkuasa mengungkapkan seluruh ekspresinya akibat ditekan oleh sekelompok orang yang berkuasa. Oleh karena itu Paulo Freire pernah mencanangkan program pengentasan buta huruf bagi rakyat brazil. Hasilnya sangat mengagumkan sebab proses penyadaran itu berjalan, meskipun secara bertahap.
Untuk mengubah kondisi sosial masyarakat yang tertindas itu Paulo Freire, menggagas gerakan penyadaran (conscientizacao)[16] sebagai usaha membebaskan manusia dari keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan bisu yang selalu menakutkan. Minimal dengan proses penyadaran itu manusia bisa memahami kondisi dirinya sendiri serta mampu menganalisa persoalan-persoalan yang menyebabkannya. Dalam hal ini Paulo Freire memetakan tipologi kesadaran manusia dalam empat katagori. Pertama, magic consciousness, kedua, naival consciousness, dan ketiga, critical consciousness dan keempat atau yang paling puncak adalah transformation consciousness.
Posisi manusia dalam konsep pendidikan kritis adalah sebagai subyek aktif. Baginya, kehendak dan kebebasan menentukan pilihan-pilihan. Manusia secara prinsipal memiliki potensi yang sifatnya siap manifes.sementara dalam kehidupan ,dia berhak memilih sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Dalam hal ini, secara alamiah manusia memiliki kecenderungan untuk bisa hidup secara tenang dan damai. Dia menghendaki hidup yang sejahtera tanpa harus dieksploritasi oleh tangan-tangan orang lain yang sengaja meraih untung dari keterpurukan nasibnya.
Konsep pendidikan kritis Paulo Freire telah menempatkan manusia dalam berbagai perannya sebagai subyek aktif. Baginya posisi guru sama-sama sebagai pelaku aktif. Oleh karena itu hubungan antara guru dan murid tidak dilihat sebagai hubungan struktural formal. Akan tetapi hubungan tersebut bersifat partnership. Dengan demikian, antara guru dengan  murit ibarat hubungan sesama teman.
Realitas adalah medium pembelajaran kritis bagi manusia. Dalam realitas tersebut seluruh potensi manusia berproses sampai membentuk suatu kondisi kepribadian tertentu. Dengan semakin dekatnya konsep pendidikan kritis itu dengan proses hidup, maka filsafat ini lebih cenderung mengarah pada konsep hadap masalah (problem possing education). Inilah yang menjadi kekuatan konseptual dari filsafat pendidikan kritis Paulo Freire.
Konsep berikutnya adalah tentang proses pendidikan, bagi Paulo Freire[17] dengan pendekatan humanismenya melalui setiap persoalan dari sudut pandang manusianya. Dengan membangun pemahaman positif tentang manusia sebagai makhluk yang secara alamiah memiliki potensi-potensi. Ia kemudian mencoba menganalisis setiap persoalan sosial dari sudut pandang ini, teryata yang ia dapatkan adalah konsep pemahaman manusia yang memilki banyak tipe.
Oleh karena itu Paulo Freire[18] menggagas konsep pendidikan yang bisa mengembalikan potensi-potensi manusia yang telah terenggut oleh otoritas kekuasaan segelintir orang itu. Sehingga pendidikan harus bisa memanusiakan manusia.

Karya-karya Paulo Freire sebagai berikut :
a.      Education As The Practice Of Freedom. Buku ini dibuat Freire atas hasil analisisnya terhadap kegagalan dalam melakukan emansipasi di Brazil, buku ini ditulis didalam penjara sebab aktivitas subversive Freire ia tertangkap oleh militer yang berhasil meruntuhkan rezim goulart, dan memerintahkan untuk mengintimidasi seluruh geraka prograsif, termasuk salah satunya adalah gerakan pemberantasan buta huruf Freire, maka Freire pun dipenjara selama 70 hari. Buku ini kemudian diselesaikan di Cile dalam masa pembuangannya. Buku ini menjelaskan tentang apa pandangan filosofis dari apa yang terwujud dari masyarakat untuk mentransformasi sejarah menjadi subjek melalui suatu refleksi yang kritis.
b.      Pedagogy of the Opressed (1970), salah satu karya Freire yang terkenal , dibuatnya ketika Freire mulai menagkap realita kongkret yang terjadi atas kenyataan perang yang dilancarkan Amerika terhadap Vietnam, dimana tekanan dan penindasan terhadap kehidupan ekonomi dan politik dunia ketiga berlangsung secara tak terbatas.
Berdsarkan kenyataan tersebut Freire mulai memperluas definisinya tentang persoalan dunia ketiga dari masalah geografis ke konsep politis, dalam buku ini tema kekerasan menjadi pokok bahasan utama, menurut Freire pendidikan menjadi jalur permanen terwujudnya pembebasan. Dalam buku ini Freire berusaha menyajikan pandangan filosofis dari apa yang terwujud dari para laki-laki dan perempuan untuk mentransformasi sejarah dan menjadi subjek melalui satu refleksi yang kritis.
c.  Cultural Action for Freedom(1970), buku yang ditulis Freire pada tahun yang sama pembuatan karya Pedagogy of the Oppressed. Dalam buku ini Freire membahas masalah perubahan-perubahan kultural yang terjadi dalam reformasi agraria berjalan seiring dengan pengajaran dan pembelajaran ketrampilan baru.
d.  Tahun 1969-1970 Freire menerbitkan dua buah artikel untuk Harvard Educational Review yang berjudul “Adult Literacy Process as Cultural Action for Freedom” dan “Cultural Action an Conscientization”. Kedua artikel ini memuat hamper seluruh teori kependidikannya kedalam bahasa Inggris yang pertama karena karya-karya tulisnya yang lain selalu dalam bahasa Spanyol dan Portugis.
e.  Buku Pedagogy of the Heart (1999) merupakan buku paling menarik karena Freire berusaha melihat kedalam hidupnya sendiri untuk berefleksi tentang pendidikan dan politik. Freire menampilkan dirinya sebagai democrat yang tidak engenal kompromi dan pembaharu radikal yang gigih, pengalamannya semasa dalam pembuangan hingga pengalamannya dalam menjabat sebagai mentri pendidikan Sao Paolo justru semakin memperbesar komitmennya kepada orang-orang terpinggir, lapar dan buta huruf akibat rezim Brazil yang menindas.

BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan.
1.      Berpikir Kritis.

·         Pengertian berpikir kritis adalah kemampuan untuk mengatakan sesuatu dengan penuh percaya diri, “ide saya bagus karena berdasarkan alasan yang logis” atau “ide anda bagus karena didukung oleh bukti yang kuat.” Atau berpikir kritis adalah sebuah proses sistematis yang memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi kenyakinan dan pendapat mereka sendiri.

·         Definisi pendapat para ahli tentang berpikir kitis adalah :
a.       John Dewey dalam tulisannya , Berpikir kritis adalah berpikir dengan baik, dan merenungkan tentang proses berpikir merupakan bagian dari berpikir dengan baik. Dan John Dewey mengatakan bahwasannya sekolah harus mengajarkan cara berpikir yang benar pada anak-anak (Dewey, 1916 / 1966).
b.      Vincent Ruggiero (1988), mengartikan berpikir sebagai “segala aktifitas mental yang membantu merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi keinginan untuk memahami, sedangkan berpikir adalah sebuah pencaraian jawaban, sebuah pencapaian makna.
c.       John Chaffee (1994), Direktur Pusat Bahasa dan Pemikiran Kritis di Laguardi College, City University of New York (CUNY). Dia mendefinisikan bahwa berpikir kritis sebagai berpikir untuk  “menyelidikisecara sistematis proses berpikir itu sendiri”maksudnya tidak hanya memikirkan dengan sengaja, tetapi juga meneliti bagaimana kita dan orang lain menggunakan bukti dan analogika.
·         Tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Pemahaman membuat kita mengerti maksud dibalik ide yang mengarahkan hidup kita setiap hari. Pemahaman mengungkapkan makna dibalik suatu kejadian.


·         Pelembagaan berpikir kritis.
Menurut Selman ada lima pendekatan sebagai agenda utama di dalam kerangka pembelajaran berpikir kritis yaitu :
1.      Pendekatan keterampilan yang menekankan pada kemampuan menganalisis, mengklasifikasi, dan mensistensiskan aneka fenomena.
2.      Pendekatan pemecahan masalah, dimana anak didik diharapkan pada hipotesis yang harus mereka pecahkan dengan prosedur kerja secara kritis.
3.      Pendekatan logikal, dimana anak didik diarahkan untuk dapat mengidentifikasi katagori-katagori logis sebagai sebuah premis.
4.      Pendekatan pemrosesan informasi, dimana kepada anak didik ditawarkan ide-ide besar, untuk selanjudnya mereka analisi secara detail.
5.      Pendekatan multiaspek yang menekankan pada pelibatan kemampuan, sikap, kebutuhan, dan tuntutan yang ada pada diri anak didik.

·         Pedagogy Kritis.
Critical theory in education aims to disclose all forms of injustice and inequality in schooling by revealing the interests served by the knowledge and the human action brought to bear in school settings.By probing into the ideological and political forces that underlie the workday affairs of the school,critical theorists are created new and unconventional ways of looking at school phenomena

2.      Berpikir Radikal.
berpikir radikal tidak berarti hendak mengubah, membuang, atau menjungkir balikkan segala sesuatu, melainkan dalam arti yang sebenarnnya, yaitu berpikir secara mendalam untuk mencapai akar persoalan yang dipermasalahkan. Berpikir radikal justru memperjelas realitas lewat penemuan serta pemahaman akan akar realitas itu sendiri.

3.      Pendidikan Kritis Menurut pandangan Paulo Freire.
Paulo Freire berujar “ Pemikiran Kritis adalah pemikiran yang melihat suatu hubungan tak terpisahkan antara manusia dan dunia tanpa melakukan dikotomi antara keduanya. Pemikiran kritis adalah pemikiran yang memandang realitas sebagai proses dan perubahan, bukan entitas yang statis. Pemikiran kritis adalah pemikiran yang tidak memisahkan diri dan tindakan , tetapi senantiasa bergumul dengan masalah-masalah keduniawian tanpa gentar menghadapi resiko.
B.            Saran.
Alhamdulillah kami panjatkan sebagai implementasi rasa syukur kami atas selesainya makalah ini. Namun dengan selesainya bukan berarti telah sempurna, Oleh karena itulah saran serta kritik yang bersifat membangun dari saudara selalu kami nantikan.untuk dijadikan suatu pertimbangan dalam setiap langkah sehingga kami terus termotivasi kearah yang lebih baik tentunya dimasa masa yang akan datang.akhirnya kami ucapkan terima kasih sebanyak banyaknya.











[1] Akhmad muhaimin Azzet, Pendidikan yang Membebaskan, ( Ar-ruzz Media, Jogjakarta : 2008 ), hlm, 74.
[2] Ibid, hlm, 75.
[3] Elaine, Johson, Contextual Teacing and Learning(Menjadikan Kegiatan Belajar-Belajar Mengasyikkan dan Bermakna, (Corwin Press, California :2002), hlm, 185.
[4] Ibid, hlm, 185.
[5] Ibid, hlm, 187.
[6] Ibid, hlm, 190.
[7] Ibid, hlm, 148.
[8] Chaedar Alwasiah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (PT Remaja Rosdakarya, Bandung:2014), hlm, 109.
[9] Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan Menemukan Pendidikan yang Manusiawi, (PT Bumi Aksara, Jakarta:2008), hlm, 125.
[10] Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, (Ar-ruzz Media, Jogjakarta:2011), hlm, 27.
[11] Nurani Soyomukti, Teori-Teori Pendidikan, (Ar-ruzz Media, Jogjakarta:2010), hlm, 472.
[12] Mu’arif, Liberalisme Pendidikan, (Pinus Book Publisher, Yogyakarta:2008), hlm, 74.
[13] Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Tranformatif, (Ar-ruzz Media, Jogjakarta: 2009), hlm, 129.
[14] Elaine, Johson, Contextual Teacing and Learning(Menjadikan Kegiatan Belajar-Belajar Mengasyikkan dan Bermakna, (Corwin Press, California :2002), hlm, 189.
[15] Mu’arif, Liberalisme Pendidikan, (Pinus Book Publisher, Yogyakarta:2008), hlm, 76.
[16] Mu’arif, Liberalisme Pendidikan, (Pinus Book Publisher, Yogyakarta:2008), hlm, 79.
[17] Ibid, hlm, 81.
[18] Ibid, hlm, 82.
 

No comments:

Post a Comment