BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan diharapkan memberikan pengetahuan yang memungkinkan
orang dapat mengatasi masalah-masalah kehidupan dalam tugas-tugas secara
profesional di dalam kehidupan sehari-hari.Namun, dalam kondisi kehidupan yang
berubah dengan sangat cepat, kerab kali pengetahuan yang kita miliki tidak
dapat kita terapkan untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul. Oleh karena
itu, diperlukan keterampilan berpikir kritis, radikal dalam pendidikan.
Sehingga apabila orang mahir dalam berpikir kritis, radikal dapat
mengahasilkan solusi masalah secara tepat dari informasi yang terbatas.
Sebaliknya, seseorang yang tidak terampil berpikir kritis, radikal tidak dapat
menghasilkan pemecahan masalah yang tepat, meskipun tersedia cukup banyak informasi
yang relevan.
Untuk itu dalam makalah ini kami akan menjabarkan “Idiologi
Pendidikan Kritis Radikal” dimana Idiologi itu sendiri adalah sebuah teori
yang akan menerapkan di dalam pendidikan yang kritis radikal.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Pengertian
Berfikir Kritis radikal dalam Pendidikan ?
2.
Pendidikan
Kritis Menurut pandangan Paulo Freire ?
C.
Tujuan
Masalah.
1.
Untuk
mengetahui Pengertian Berfikir Kritis radikal dalam Pendidikan.
2.
Untuk
mengetahui Pendidikan Kritis Menurut pandangan Paulo Freire.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Berfikir Kritis radikal dalam Pendidikan.
A.
Berpikir
Kritis
Suatu hal yang penting untuk ditumbuhkan dalam sebuah pendidikan
yang membebaskan adalah membangun anak didik untuk bisa bersikap dan berfikir
kritis ini bisa tumbuh dan berkembang setelah anak didik diberi ruang untuk
didengarkan, terbangun suasana yang dialogis, bahkan anak didik diperbolehkan
untuk berbeda pendapat tidak hanya dengan sesama temannya, namun berbeda
pendapat dengan gurunya sekalipun.
Dalam era reformasi ini, menurut Bernhard[1],
sikap kritis terhadap ide-ide dari mana pun harus dikuatkan. Pendidikan
sebaiknya membangun sikap kritis yang bertanggung jawab, bukan kritis yang
dogmatis ideologis.
Pendidikan merupakan wahana membangun kesadaran anak didik agar
berani bersikap kritis terhadap lembaga pendidikan[2]
itu sendiri. Hal ini penting sebab tak jarang lembaga pendidikan justru
digunakan oleh pihak tertentu untuk membelenggu kelompok tertentu demi
memperoleh keuntungan. Pihak yang memperalat pendidikan ini bisa jadi yayasan
pendidik atau bahkan malah penguasa atau negara. Tujuan pendidikan yang utama
adalah menjaga hakikat kemanusiaanya yang merdeka. Apabila pendidikan teryata
bertentangan dengan hakikat kemanusiaan, anak didik harus berani berfikir dan
bersikap kritis.
Untuk itu ada banyak hal pandangan tentang berpikir kritis,
berpikir kritis adalah kemampuan untuk mengatakan sesuatu dengan penuh percaya
diri,[3]
“ide saya bagus karena berdasarkan alasan yang logis” atau “ide anda bagus
karena didukung oleh bukti yang kuat.” Atau berpikir kritis adalah sebuah
proses sistematis yang memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi
kenyakinan dan pendapat mereka sendiri.
Tujuan dari berpikir kritis adalah[4]
untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Pemahaman membuat kita mengerti maksud
dibalik ide yang mengarahkan hidup kita setiap hari. Pemahaman mengungkapkan
makna dibalik suatu kejadian.
Sayangnya, banyak orang yang kelihatannya curiga pada pemikir
kritis. Mungkin pemikir kritis memiliki reputasi yang buruk sebagian karena
mereka kritis, yang berarti “tepat” dan “tajam” dalam berpikir, yang secara
tersirat berarti terlalu keras. Mungkin berpikir kritis dicurigai sebagian
karena orang-orang yang mempraktekannya wajib bertanya.
Kenyataanya, penilaian yang keras dan pertayaan destruktif yang
disampaikan hanya untuk mematahkan kenyakinan merupakan hambatan bagi pemikir
kritis.
Proses berpikir kritis mengharuskan keterbukaan pemikiran,
kerendahan hati, dan kesabaran. Kualitas-kualitas tersebut membantu seseorang
mencapai pemahaman yang mendalam. Pemikir kritis, selalu berpikiran terbuka
saat mereka mencari kenyakinan yang ditimbang baik-baik berdasarkan bukti logis
dan logika yang benar.
Definisi berpikir kritis menurut para ahli[5] :
a.
John
Dewey dalam tulisannya , Berpikir kritis adalah berpikir dengan baik, dan
merenungkan tentang proses berpikir merupakan bagian dari berpikir dengan baik.
Dan John Dewey mengatakan bahwasannya sekolah harus mengajarkan cara berpikir
yang benar pada anak-anak (Dewey, 1916 / 1966).
b.
Vincent
Ruggiero (1988), mengartikan berpikir sebagai “segala aktifitas mental yang
membantu merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi
keinginan untuk memahami, sedangkan berpikir adalah sebuah pencaraian jawaban,
sebuah pencapaian makna.
c.
John
Chaffee (1994), Direktur Pusat Bahasa dan Pemikiran Kritis di Laguardi College,
City University of New York (CUNY). Dia mendefinisikan bahwa berpikir kritis
sebagai berpikir untuk
“menyelidikisecara sistematis proses berpikir itu sendiri”maksudnya tidak
hanya memikirkan dengan sengaja, tetapi juga meneliti bagaimana kita dan orang
lain menggunakan bukti dan analogika.
Berpikir Kritis
, sebuah proses sistematis[6]
yang mana para ahli berpikir kritis setuju bahwa meneliti proses berpikir harus
dilakukan dengan sistematis. Satu alasan mengapa kita membutuhkan pendekatan
sistematis dan terorganisasi untuk berpikir kritis karena pada dasarnnya
berpikir sulit untuk dipahami.
Pelembagaan
Berpikir Kritis[7]
Menurut Selman ada
lima pendekatan sebagai agenda utama di dalam kerangka pembelajaran berpikir
kritis yaitu :
1.
Pendekatan
keterampilan yang menekankan pada kemampuan menganalisis, mengklasifikasi, dan
mensistensiskan aneka fenomena.
2.
Pendekatan
pemecahan masalah, dimana anak didik diharapkan pada hipotesis yang harus
mereka pecahkan dengan prosedur kerja secara kritis.
3.
Pendekatan
logikal, dimana anak didik diarahkan untuk dapat mengidentifikasi
katagori-katagori logis sebagai sebuah premis.
4.
Pendekatan
pemrosesan informasi, dimana kepada anak didik ditawarkan ide-ide besar, untuk
selanjudnya mereka analisi secara detail.
5.
Pendekatan
multiaspek yang menekankan pada pelibatan kemampuan, sikap, kebutuhan, dan
tuntutan yang ada pada diri anak didik.
Pelembagaan
berpikir kritis memang masih mengundang kontroversi, terutama berkaitan dengan
isi, keterampilan, dan strategi yang terpaut dengan proses pembelajaran.
Pelembagaan kritis tidak jarang membuat para guru menghadapi kebingungan
mengenai apa itu berpikir kritis. Namun, dengan pelembagaan berpikir kritis
dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah , adalah untuk terkndisinys
kehidupsn siswadalam proses pembelajaran untuk membangun keatifitas , dan
bekerja secara kooperatif antar sesama masyarakat pendidik di sekolah.
Pedagogy Kritis
Dalam bidang
pendidikan teori kritis ini memunculkan pendekatan critikal pedagogy.
Pendekatan ini antara lain menekankan pentingnya memberdayakan dan mendidik
siswa agar mampu memecahkan masalah dan mampu berpikir kritis. Seperti berikut
ini :
Critical
theory in education aims to disclose all forms of injustice and inequality in
schooling by revealing the interests served by the knowledge and the human
action brought to bear in school settings.By probing into the ideological and
political forces that underlie the workday affairs of the school,critical
theorists are created new and unconventional ways of looking at school
phenomena[8] .
Dari pencermatan atas kutipan di atas, maka dapat ditarik sejumlah
tafsir sebagai berikut:
a.
Teori
kritis meiliki kepedulian tinggi terhadap ketidak adilan sosial sebagaimana
tercermin dalam sistem pendidikan atau persekolahan.
b.
Di
balik ilmu pengetahuan yang dipelajari di sekolah dan kebudayaan yang dominan
dalam sistem persekolahan sesungguhnya ada minat dan vested interest dari
kelompok tertentu.
c.
Di balik
sitem persekolahan itu ada idiologi yang mendominasi yang harus dicermati
dengan kritis dengan mengkaji sejumlah ideologi alternatif.
Untuk keperluan analisisnya yang radikal ini, maka pemdidik harus
memiliki kemampuan antara lain sebagai berikut :
a.
Untuk
menganalisis sistem yang ada secara politis, diperlukan penguasaan bahasa
kritis demi pemahaman yang sempurna.
b.
Untuk
memahami kultur yang mendominasi sistem persekolahan, diperlukan pemahan atas
suara ideologis dari tiga kelompok besar, yaitu pihak sekolah, siswa, dan guru.
c.
Untuk
menantang wilayah pengetahuan yang dominan saat ini, diperlukan keberanian
untuk membangun pengetahuan baru.
Sehingga, bisa jadi aliran ini terlalu radikal terutama pada sistem
pendidikan .Karena tanpa berpikir kritis, lebih merupakan latihan ketahanan
dari pada pendidikan ( Svincki dan Kraemer dalam Young,)[9].
Peryataan ini mengandung makna bahwa perkembangan keterampilan berpikir kritis
merupakan suatu keharusan.
B.
Berpikir
Radikal.
Berfilsafat berarti berpikir secara radikal[10].
Filsuf adalah pemikir yang radikal, karena berpikir secara radikal, ia tidak
akan pernah terpaku hanya pada fenomena entitas tertentu. Ia tidak akan pernah
berhenti hanya pada suatu wujud realitas tertentu. Keradialan berpikirnya itu
senantiasa mengorbarkan hasratnya untuk menemukan akar seluruh kenyataan, bila
dikatakan filsuf selalu berupaya menemukan radix seluruh kenyataan, berarti
dirinya sendiri sebagai suatu realitas telah termasuk kedalamnya sehingga iapun
berupaya untuk mencapai akar pengetahuan tentang dirinya sendiri.
Mangapa Radix atau akar realitas begitu penting untuk ditemukan ?
ini tidak lain karena bagi seorang filsuf hanya apabila akar realitas itu
ditemukanlah segala sesuatu yang bertumbuh di atas akar itu akan dapat
dipahami. Apabila akar suatu permasalahan telah ditemukan, permasalahan itu
dapat di mengerti sebagai mestinya,
Dalam berpikir radikal kita seakan menjadi budak dari
keingintahuan (anxiety[11]).
Sepanjang kita mampu memenuhi hasrat ingin tahu dan menindak lanjudkan apa yang
kita ketahui dengan perbuatan yang baik
dan diterima sesuai akal sehat kita.
Jadi awal mula terjadinya keterasingan kita adalah ketidak tahuan
kita. Kebodohan adalah musuh umat manusia sepanjang abad.
Untuk itu berpikir radikal tidak berarti hendak mengubah, membuang,
atau menjungkir balikkan segala sesuatu, melainkan dalam arti yang sebenarnnya,
yaitu berpikir secara mendalam untuk mencapai akar persoalan yang
dipermasalahkan. Berpikir radikal justru memperjelas realitas lewat penemuan
serta pemahaman akan akar realitas itu sendiri.
2.
Pendidikan
Kritis Menurut pandangan Paulo Freire.
Pendidikan
kritis hampir-hampir menguasai secara dominan wacana kependidikan di indonesia
dewasa ini. Dan para sarjana pendidikan kita hampir semuanya sepakat bahwa yang
dimaksud pendidikan kritis itu ialah seluruh gagasan yang pernah dirintis dan
dikembangkan oleh Paulo Freire[12].
Siapakah sebenarnya Paulo Feire itu ?.
Paulo Freire lahir
pada 19 september 1921 di Recife kota pelabuhan di timur laut Brazil[13], dia
berasal dari keluarga kelas menengah, ayahnya bernama Joachim Themistocles
Freire berprofesi sebagai polisi militer di Pernambuco yang berasal dari Rio
Grande de Norte. Ayahnya adalah seorang pengikut aliran kebatinan, tanpa
menjadi anggota dari agama resmi. Baik budi, cakap, dan mampu untuk
mencintai.dan ibunya bernama Edultrus Neves Freire, berasal dari Pernambuco,
beragama Katolik, lembut, baik budi, dan adil. Merekalah yang dengan contoh dan
cinta mengajarkan kepada Paulo Freire untuk menghargai dialog dan menghormati
pendapat maupun pilihan orang lain.
Pada tahun
1944, Freire melangsungkan pernikahan dengan Elza Maia Costa Olivera dari
Recife, seorang guru sekolah dasar (yang kemudian menjadi kepala sekolah). Dari
pernikahannya dengan Elza melahirkan tiga orang putri dan dua orang putra.
Pasca pernikahannya itu kemudian naluri dan kepedulian Freire pada pendidikan
mulai tumbuh, ia banyak membaca buku-buku tentang pendidikan, filsafat dan
sosiologi ketimbang buku-buku hukum yang menjadi sarana penghasilannya.
Paulo Freire merupakan
tokoh yang secara khusus membicarakan pendidikan. Paulo Freire memahami dan
memberikan kerangka kerja konkret dalam mempermasalahkan modernisme dalam
pendidikan. Dalam pandangannya, Paulo Freire berujar “ Pemikiran Kritis adalah
pemikiran yang melihat suatu hubungan tak terpisahkan antara manusia dan dunia
tanpa melakukan dikotomi antara keduanya. Pemikiran kritis adalah pemikiran
yang memandang realitas sebagai proses dan perubahan, bukan entitas yang
statis. Pemikiran kritis adalah pemikiran yang tidak memisahkan diri dan
tindakan , tetapi senantiasa bergumul dengan masalah-masalah keduniawian tanpa
gentar menghadapi resiko.
Pemikiran
kritis bukanlah sesuatu yang sulit dan esoteris yang hanya bisa dilakukan oleh
mereka yang memiliki IQ berkatagori genius[14].
Sebaliknya, berpikir kritis merupakan sesuatu yang dapat dilakukan oleh semua
orang. Saat anak-anak menyatakan pertanyaan penting “ Mengapa?” yang
mengisyaratkan keengganan mereka untuk menerima penjelasan sederhana, mereka
adalah pemikir kritis.
Paulo Freire
merupakan tokoh yang anti terhadap segala bentuk imperalisme maupun
eksploitasi.karena setiap penindasan, baginya tidak bisa ditolerir begitu saja.
Sebab penindasan itu, menurutnya, tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan
(humanisme). Karena itulah, Paulo Freire berpandangan bahwa penyelenggaraan
pendidikan itu bertujuan untuk “Memanusiakan Manusia (humanisme)”.
Paolo Freire
bukanlah filosof penemu gagasan orisinil, sebab hampir seluruh
pandangan-pandangan filosofinya tentang pendidikan masih bermuara pada
pandangan-pandangan filosof terdahulu.
Misalnya Paulo Freire mengonstruksi kembali ide-ide humanisme untuk membangun
konsep pendidikannya,dimulai dari konsep manusia sebagai subyek aktif
(cognitive), padahal pandangan-pandangannnya telah digagas oleh Abraham Maslow,
pencetus mazhab priskologi humanis.
Kemudian dalam
memahami konsep manusia, Paolo Freire banyak mengadopsi gagasan-gagasan para
filosof eksistensialis, semisal Jean Paul Sartre, Gabriel Marcel dan Karl Jasper.
Namun dalam memahami realitas sosial yang menjadi medium pendidikan bagi
manusia, Paulo Freire lebih banyak mengadopsi pemikiran Karl Marx untuk membaca
ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Paulo Freire lebih banyak mengadopsi
teori konflik ( teori kelas ) untuk membaca gejala sosial yang terjadi dalam
suatu masyarakat.
Karena,
pemikiran Karl Marx cenderung memihak pada kelompok sosial tertindas
(proletar), maka Paulo Freirepun cenderung begitu. Malah agenda pendidikan
melalui proyek penyadarannya bermuara dari ketimpangan-ketimpangan yang terjadi
dalam realitas sosial masyarakat Brazil waktu itu.
Paulo Freire
mengaris bawahi bahwa dalam pendidikan itu terdapat tiga unsur fundamental
yaitu yang pertama[15],
pengajar kedua,peserta didik ketiga, realitas dunia. Pola interaksi antara
unsur pertama dengan kedua seperti halnya pola hubungan pertemanan
(partnership) yang saling melengkapi dalam proses pembelajaran. Keduanya tidak
berfungsi secara struktural formal seperti halnya ketika kita memahami
konstruksi filosofi pendidikan konservatif. Bahkan, Paulo Freire menengarai
bahwa hubungan antara pengajar dan peserta didik yang bersifat struktural
formal hanya akan melahirkan konsep “ Pendidikan gaya bank “ (banking concept
of education).
Banking concept
of education merupakan pola hubungan kontradiksi yang saling menekan.
Diandaikan ketika pengajar (guru) menempati posisi di atas, maka peserta didik
(murid) harus berada di bawah dengan menerima tekanan-tekananotoritas sang
guru. Pendidikan seperti itu hanya akan melahirkan penindasan dan tidak sesuai
dengan fitrah manusia. Paulo Freire lebih menghendaki bahwa hubungan antara
guru dan murid seperti halnya seorang teman atau partnership. Dengan model
hubungan seperti itu memungkinkan proses pendidikan berjalan secara dialogis
dan partisipatoris.
Posisi pengajar
dan peserta didik oleh Paulo Freire dikatagorikan sebagai subyek yang sadar
(cognitive). Artinya kedua posisi ini sama-sama berfungsi sebagai subyek dalam
proses pembelajaran. Peran guru hanya mewakili dari orang teman ( parnership )
yang baik bagi muridnya. Adapun posisi realitas dunia menjadi medium atau obyek
yang disadari (cognizable). Disinilah manusia itu belajar dari hidupnya. Dengan
begitu manusia dalam konsep pendidikan Paulo Freire mendapati posisi sebagai
subyek aktif. Manusia kemudian belajar dari realitas sebagai medium
pembelajaran.
Paolo Freire
menempatkan hubungan antara guru dengan murid sebagai partnership dalam belajar
untuk menghindari antagonisme dalam pembelajaran. Seandainya posisi antara guru
dengan murid dipandang secara hirarkhis-struktural yang terjadi kemudian adalah
proses “pendidikan gaya bank”. Namun ketika proses pembelajaran dengan
memposisikan guru dan murid sebagai pratnership, yang terjadi kemudian adalah
proses pendidikan yang “memanusiakan manusia”.
Baginya ,
seluruh persoalan yang terjadi dalam suatu tatanan sosial sangat berkaitan
dengan faktor manusianya. Namun tidak sepenuhnya Paolo Freire menyalahkan
faktor manusianya ketika melihat ketimpangan dalam sebuah realitas sosial
tertentu. Karena, bisa jadi faktor kemiskinan , kebodohan , pengangguran dan
sebagainya itu lahir dari kebijakan struktur penguasa. Oleh karena itu , Paulo
Freire juga banyak menggunakan pendekatan lain dalam menganalisis
persoalan-persoalan sosial yang ada. Dia juga banyak menggunakan
pendekatan-pendekatan semisal strukturalisme dan fungsionalisme untuk mencari
penyebab atau sumber ketimpangan dalam sebuah realitas sosial berdasarkan
faktor kebijakan penguasa dan peran serta fungsi masing-masing unsur dalam
sebuah struktur masyarakat.
Pendekatan
struturalisme dan fungsionalisme inilah yang kemudian melengkapi cara
pandangannya dalam memahami realitas sosial itu bertumpu pada manusianya saja.
Akan tetapi, terdapat faktor-faktor lain yang sangat berpengaruh seperti sistem
kekuasaan yang otoriter , fungsi pranata sosial yang tidak seimbang dan
sebagainya.
Paulo Freire
menempatkan posisi realitas sebagai medium pembelajaran bagi manusia . Dari
realitas itulah seluruh manusia belajar. Pada dasarnya manusia itu memiliki
kebebasan (freedom) dalam memilih dan berbuat, bahkan dalam menentukan nasibnya
sendiri. Inilah fitrah manusia yang oleh Paulo Freire disebut sebagai the man’s
ontologikal vocation. Karena kebebasan dalam memilih, mengembangkan potensi
adalah fitrah manusia , maka tiap-tiap penindasan yang menafikan
potensi-potensi manusia oleh Paulo Freire tidak dipandang tidak manusiawi. Oleh
karena itu, ia menggagas, bahwa pendidikan itu adalah suatu proses untuk
memanusiakan manusia (humanisasi).
Dalam kondisi sosial
kaum terpinggirkan (marginal) yang terjadi penindasan dimn penindasan itu
adalah ketika otoritas penguasa lebih dominan dan mengeksploitasi manusia tanpa
adil sedikitpun. Dengan sikap ketakutan dari kaum marginal
(terpinggirkan)itulah yang kemudian semakin menciptakan kesenjangan dalam
kehidupan sosial, orang yang terpinggir itu kemudian semakin lemah, tidak
berdaya atau semakin larut dalam “budaya bisu” (submerged in the culture of
silence) adalah suatu situasi dimana orang yang tidak berkuasa mengungkapkan
seluruh ekspresinya akibat ditekan oleh sekelompok orang yang berkuasa. Oleh
karena itu Paulo Freire pernah mencanangkan program pengentasan buta huruf bagi
rakyat brazil. Hasilnya sangat mengagumkan sebab proses penyadaran itu
berjalan, meskipun secara bertahap.
Untuk mengubah
kondisi sosial masyarakat yang tertindas itu Paulo Freire, menggagas gerakan
penyadaran (conscientizacao)[16]
sebagai usaha membebaskan manusia dari keterbelakangan, kebodohan atau
kebudayaan bisu yang selalu menakutkan. Minimal dengan proses penyadaran itu
manusia bisa memahami kondisi dirinya sendiri serta mampu menganalisa
persoalan-persoalan yang menyebabkannya. Dalam hal ini Paulo Freire memetakan
tipologi kesadaran manusia dalam empat katagori. Pertama, magic consciousness,
kedua, naival consciousness, dan ketiga, critical consciousness dan keempat
atau yang paling puncak adalah transformation consciousness.
Posisi manusia
dalam konsep pendidikan kritis adalah sebagai subyek aktif. Baginya, kehendak
dan kebebasan menentukan pilihan-pilihan. Manusia secara prinsipal memiliki
potensi yang sifatnya siap manifes.sementara dalam kehidupan ,dia berhak
memilih sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Dalam hal ini,
secara alamiah manusia memiliki kecenderungan untuk bisa hidup secara tenang
dan damai. Dia menghendaki hidup yang sejahtera tanpa harus dieksploritasi oleh
tangan-tangan orang lain yang sengaja meraih untung dari keterpurukan nasibnya.
Konsep
pendidikan kritis Paulo Freire telah menempatkan manusia dalam berbagai
perannya sebagai subyek aktif. Baginya posisi guru sama-sama sebagai pelaku
aktif. Oleh karena itu hubungan antara guru dan murid tidak dilihat sebagai
hubungan struktural formal. Akan tetapi hubungan tersebut bersifat partnership.
Dengan demikian, antara guru dengan
murit ibarat hubungan sesama teman.
Realitas adalah
medium pembelajaran kritis bagi manusia. Dalam realitas tersebut seluruh
potensi manusia berproses sampai membentuk suatu kondisi kepribadian tertentu.
Dengan semakin dekatnya konsep pendidikan kritis itu dengan proses hidup, maka
filsafat ini lebih cenderung mengarah pada konsep hadap masalah (problem
possing education). Inilah yang menjadi kekuatan konseptual dari filsafat
pendidikan kritis Paulo Freire.
Konsep
berikutnya adalah tentang proses pendidikan, bagi Paulo Freire[17]
dengan pendekatan humanismenya melalui setiap persoalan dari sudut pandang
manusianya. Dengan membangun pemahaman positif tentang manusia sebagai makhluk
yang secara alamiah memiliki potensi-potensi. Ia kemudian mencoba menganalisis
setiap persoalan sosial dari sudut pandang ini, teryata yang ia dapatkan adalah
konsep pemahaman manusia yang memilki banyak tipe.
Oleh karena itu
Paulo Freire[18]
menggagas konsep pendidikan yang bisa mengembalikan potensi-potensi manusia
yang telah terenggut oleh otoritas kekuasaan segelintir orang itu. Sehingga
pendidikan harus bisa memanusiakan manusia.
Karya-karya
Paulo Freire sebagai berikut :
a.
Education
As The Practice Of Freedom.
Buku ini dibuat Freire atas hasil analisisnya terhadap kegagalan dalam
melakukan emansipasi di Brazil, buku ini ditulis didalam penjara sebab
aktivitas subversive Freire ia tertangkap oleh militer yang berhasil
meruntuhkan rezim goulart, dan memerintahkan untuk mengintimidasi seluruh
geraka prograsif, termasuk salah satunya adalah gerakan pemberantasan buta
huruf Freire, maka Freire pun dipenjara selama 70 hari. Buku ini kemudian
diselesaikan di Cile dalam masa pembuangannya. Buku ini menjelaskan tentang apa
pandangan filosofis dari apa yang terwujud dari masyarakat untuk
mentransformasi sejarah menjadi subjek melalui suatu refleksi yang kritis.
b.
Pedagogy
of the Opressed (1970), salah
satu karya Freire yang terkenal , dibuatnya ketika Freire mulai menagkap realita
kongkret yang terjadi atas kenyataan perang yang dilancarkan Amerika terhadap Vietnam,
dimana tekanan dan penindasan terhadap kehidupan ekonomi dan politik dunia
ketiga berlangsung secara tak terbatas.
Berdsarkan
kenyataan tersebut Freire mulai memperluas definisinya tentang persoalan dunia
ketiga dari masalah geografis ke konsep politis, dalam buku ini tema kekerasan
menjadi pokok bahasan utama, menurut Freire pendidikan menjadi jalur permanen
terwujudnya pembebasan. Dalam buku ini Freire berusaha menyajikan pandangan filosofis
dari apa yang terwujud dari para laki-laki dan perempuan untuk mentransformasi
sejarah dan menjadi subjek melalui satu refleksi yang kritis.
c. Cultural Action for
Freedom(1970), buku
yang ditulis Freire pada tahun yang sama pembuatan karya Pedagogy of the
Oppressed. Dalam buku ini Freire membahas masalah perubahan-perubahan
kultural yang terjadi dalam reformasi agraria berjalan seiring dengan
pengajaran dan pembelajaran ketrampilan baru.
d. Tahun 1969-1970 Freire menerbitkan dua buah artikel untuk Harvard Educational
Review yang berjudul “Adult Literacy Process as Cultural Action for
Freedom” dan “Cultural Action an Conscientization”. Kedua artikel ini memuat
hamper seluruh teori kependidikannya kedalam bahasa Inggris yang pertama karena
karya-karya tulisnya yang lain selalu dalam bahasa Spanyol dan Portugis.
e. Buku Pedagogy of the Heart (1999) merupakan buku paling
menarik karena Freire berusaha melihat kedalam hidupnya sendiri untuk berefleksi
tentang pendidikan dan politik. Freire menampilkan dirinya sebagai democrat
yang tidak engenal kompromi dan pembaharu radikal yang gigih, pengalamannya
semasa dalam pembuangan hingga pengalamannya dalam menjabat sebagai mentri
pendidikan Sao Paolo justru semakin memperbesar komitmennya kepada orang-orang terpinggir,
lapar dan buta huruf akibat rezim Brazil yang menindas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
1.
Berpikir
Kritis.
·
Pengertian
berpikir kritis adalah kemampuan untuk mengatakan sesuatu dengan penuh percaya
diri, “ide saya bagus karena berdasarkan alasan yang logis” atau “ide anda
bagus karena didukung oleh bukti yang kuat.” Atau berpikir kritis adalah sebuah
proses sistematis yang memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi
kenyakinan dan pendapat mereka sendiri.
·
Definisi
pendapat para ahli tentang berpikir kitis adalah :
a.
John
Dewey dalam tulisannya , Berpikir kritis adalah berpikir dengan baik, dan
merenungkan tentang proses berpikir merupakan bagian dari berpikir dengan baik.
Dan John Dewey mengatakan bahwasannya sekolah harus mengajarkan cara berpikir
yang benar pada anak-anak (Dewey, 1916 / 1966).
b.
Vincent
Ruggiero (1988), mengartikan berpikir sebagai “segala aktifitas mental yang
membantu merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi
keinginan untuk memahami, sedangkan berpikir adalah sebuah pencaraian jawaban,
sebuah pencapaian makna.
c.
John
Chaffee (1994), Direktur Pusat Bahasa dan Pemikiran Kritis di Laguardi College,
City University of New York (CUNY). Dia mendefinisikan bahwa berpikir kritis
sebagai berpikir untuk
“menyelidikisecara sistematis proses berpikir itu sendiri”maksudnya
tidak hanya memikirkan dengan sengaja, tetapi juga meneliti bagaimana kita dan
orang lain menggunakan bukti dan analogika.
·
Tujuan
dari berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Pemahaman
membuat kita mengerti maksud dibalik ide yang mengarahkan hidup kita setiap
hari. Pemahaman mengungkapkan makna dibalik suatu kejadian.
·
Pelembagaan
berpikir kritis.
Menurut Selman ada lima pendekatan sebagai agenda utama di dalam
kerangka pembelajaran berpikir kritis yaitu :
1.
Pendekatan
keterampilan yang menekankan pada kemampuan menganalisis, mengklasifikasi, dan
mensistensiskan aneka fenomena.
2.
Pendekatan
pemecahan masalah, dimana anak didik diharapkan pada hipotesis yang harus
mereka pecahkan dengan prosedur kerja secara kritis.
3.
Pendekatan
logikal, dimana anak didik diarahkan untuk dapat mengidentifikasi
katagori-katagori logis sebagai sebuah premis.
4.
Pendekatan
pemrosesan informasi, dimana kepada anak didik ditawarkan ide-ide besar, untuk
selanjudnya mereka analisi secara detail.
5.
Pendekatan
multiaspek yang menekankan pada pelibatan kemampuan, sikap, kebutuhan, dan
tuntutan yang ada pada diri anak didik.
·
Pedagogy
Kritis.
Critical theory in education aims to disclose all forms of
injustice and inequality in schooling by revealing the interests served by the
knowledge and the human action brought to bear in school settings.By probing
into the ideological and political forces that underlie the workday affairs of
the school,critical theorists are created new and unconventional ways of
looking at school phenomena
2.
Berpikir
Radikal.
berpikir radikal tidak berarti hendak mengubah, membuang, atau
menjungkir balikkan segala sesuatu, melainkan dalam arti yang sebenarnnya,
yaitu berpikir secara mendalam untuk mencapai akar persoalan yang
dipermasalahkan. Berpikir radikal justru memperjelas realitas lewat penemuan
serta pemahaman akan akar realitas itu sendiri.
3.
Pendidikan
Kritis Menurut pandangan Paulo Freire.
Paulo Freire berujar “ Pemikiran Kritis adalah pemikiran yang
melihat suatu hubungan tak terpisahkan antara manusia dan dunia tanpa melakukan
dikotomi antara keduanya. Pemikiran kritis adalah pemikiran yang memandang
realitas sebagai proses dan perubahan, bukan entitas yang statis. Pemikiran
kritis adalah pemikiran yang tidak memisahkan diri dan tindakan , tetapi
senantiasa bergumul dengan masalah-masalah keduniawian tanpa gentar menghadapi
resiko.
B.
Saran.
Alhamdulillah kami panjatkan sebagai
implementasi rasa syukur kami atas selesainya makalah ini. Namun dengan
selesainya bukan berarti telah sempurna, Oleh karena itulah saran serta kritik
yang bersifat membangun dari saudara selalu kami nantikan.untuk dijadikan suatu
pertimbangan dalam setiap langkah sehingga kami terus termotivasi kearah yang
lebih baik tentunya dimasa masa yang akan datang.akhirnya kami ucapkan terima
kasih sebanyak banyaknya.
[1] Akhmad muhaimin Azzet, Pendidikan yang Membebaskan, ( Ar-ruzz
Media, Jogjakarta : 2008 ), hlm, 74.
[2] Ibid, hlm, 75.
[3] Elaine, Johson, Contextual Teacing and Learning(Menjadikan Kegiatan
Belajar-Belajar Mengasyikkan dan Bermakna, (Corwin Press, California
:2002), hlm, 185.
[4] Ibid, hlm, 185.
[5] Ibid, hlm, 187.
[6] Ibid, hlm, 190.
[7] Ibid, hlm, 148.
[8] Chaedar Alwasiah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (PT Remaja
Rosdakarya, Bandung:2014), hlm, 109.
[9] Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan Menemukan Pendidikan yang
Manusiawi, (PT Bumi Aksara, Jakarta:2008), hlm, 125.
[10] Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga
Postmodernisme, (Ar-ruzz Media, Jogjakarta:2011), hlm, 27.
[11] Nurani Soyomukti, Teori-Teori Pendidikan, (Ar-ruzz Media,
Jogjakarta:2010), hlm, 472.
[12] Mu’arif, Liberalisme Pendidikan, (Pinus Book Publisher,
Yogyakarta:2008), hlm, 74.
[13] Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Tranformatif, (Ar-ruzz Media,
Jogjakarta: 2009), hlm, 129.
[14] Elaine, Johson, Contextual Teacing and Learning(Menjadikan Kegiatan
Belajar-Belajar Mengasyikkan dan Bermakna, (Corwin Press, California
:2002), hlm, 189.
[15] Mu’arif, Liberalisme Pendidikan, (Pinus Book Publisher,
Yogyakarta:2008), hlm, 76.
[16] Mu’arif, Liberalisme Pendidikan, (Pinus Book Publisher,
Yogyakarta:2008), hlm, 79.
[17] Ibid, hlm, 81.
[18] Ibid, hlm, 82.
No comments:
Post a Comment